MEDAN, Sumatera Utara, Rabu, 8 Oktober 2025, WIB — Ari Bernardus Lasso adalah vokalis Dewa 19 era 1991–1999 yang kemudian meneguhkan karier sebagai solois dengan deretan hit dan peran juri ajang pencarian bakat. Jejak panggungnya berulang kali singgah di kota-kota Sumatra, dari Medan hingga Padang, menjadikannya rujukan lintas generasi bagi musisi daerah.
Ari Lasso lahir di Madiun pada 17 Januari 1973 dan tumbuh dalam ekosistem musik Surabaya. Ia membentuk band sejak SMA, lalu bergabung dengan Ahmad Dhani cs yang kemudian menjadi Dewa 19. Setelah merilis album-album penting dan mundur pada 1999, Ari menempuh jalur solo.
Di luar panggung, ia kerap terlibat di dunia televisi sebagai juri pencarian bakat, memperkuat posisinya sebagai figur referensial bagi talenta baru.
Dari sisi data karier, diskografi solonya mencatat tonggak “Sendiri Dulu” (2001), “Keseimbangan” (2003), “Kulihat, Kudengar, Kurasa” (2004), “Selalu Ada” (2006), serta kompilasi “The Best of Ari Lasso” (2007) dan “Yang Terbaik” (2012). Lagu-lagu yang lekat di telinga publik antara lain “Misteri Ilahi”, “Cinta Terakhir”, dan duet “Aku dan Dirimu”.
Di layar kaca, Ari tercatat bergabung dalam formasi juri Indonesian Idol sejak musim 9 (2017) dan terlibat di musim-musim berikutnya, menegaskan perannya dalam menyaring suara-suara baru industri musik.
“Ari Lasso — ‘Kebaikan Tuhan tiada batasnya.’ ” Ucapan singkat itu ia tulis saat menjalani kemoterapi pada 2021, ketika didiagnosis limfoma non-Hodgkin tipe DLBCL. Setelah rangkaian pengobatan, ia menyampaikan perkembangan positif pada 2022 dan kembali aktif bermusik.
Bagi banyak penggemar, kisah pemulihannya menghadirkan narasi ketangguhan—bahwa proses kreatif bisa berjalan berdampingan dengan ikhtiar kesehatan.
Dampaknya bagi warga dan pelaku industri di Sumatra terlihat di dua lini. Pertama, dampak budaya—repertoar Ari menjadi “kurikulum” informal bagi band kafe, orkes pesta, hingga festival kampus di Medan, Padang, dan Palembang. Lagu-lagunya yang kuat di melodi dan lirik memudahkan musisi muda mengasah dinamika vokal, kontrol napas, dan frasa.
Kedua, dampak industri—konser Ari (baik solo maupun format reuni dengan rekan-rekan seangkatan) terbukti menyedot penonton dan menggerakkan banyak rantai nilai lokal: penyewaan tata suara, kru panggung, katering, hingga UMKM suvenir.
Secara historis, Ari beberapa kali tampil di Sumatra. Ia menghibur warga Medan dalam konser pada 2013 dan kembali menyapa penggemar melalui konser “Romantic Night” pada 2018. Di Padang, ia pernah berbagi panggung dalam gelaran tematik yang turut menggali memori Dewa 19.
Jejak ini memberi pelajaran praktis bagi promotor daerah: riset demografi penonton, pemilihan balroom/hall yang akustiknya bersih, dan kurasi line-up lintas generasi cenderung menghasilkan “experience” yang berulang (repeat audience).
Ke depan, ada tiga pelajaran dari Ari Lasso yang relevan untuk ekosistem musik Sumatra. Pertama, consistency wins—latihan terukur dan perawatan suara (hidrasi, pemanasan, cooling down) menentukan umur panjang karier.
Kedua, catalog thinking—membangun katalog lagu yang kuat dan bisa “diturunkan” ke format akustik atau orkestra akan memperluas kesempatan panggung.
Ketiga, community & education—hadir sebagai mentor (workshop vokal, masterclass lirik) akan melahirkan lingkaran ekosistem yang sehat antara artis, komunitas, dan promotor lokal.
Bagi talenta muda, rujukan teknis sederhana—skala latihan 30–45 menit per hari, penguasaan nada tengah–tinggi tanpa teriak, serta pemilihan setlist dengan rentang dinamis—dapat segera dipraktikkan.







