[SEOUL], Senin, 13 Oktober 2025, WIB — Nama Jang Hye-young (sering ditulis “Jang Hae Young”) dikenal luas sebagai anggota Majelis Nasional Korea Selatan yang vokal memperjuangkan RUU Anti-Diskriminasi. Aktivis hak disabilitas dan LGBTQ ini menapaki politik melalui karya dokumenter tentang pengasuhan saudara perempuannya yang autistik, sebelum kemudian masuk parlemen dan mendorong kebijakan anti-diskriminasi yang inklusif.
Perjalanan Jang di politik modern Korea menonjol karena konsistensi isu: kesetaraan di ruang kerja, layanan publik ramah disabilitas, dan payung hukum anti-diskriminasi yang melindungi warga rentan—termasuk berdasarkan gender, disabilitas, agama, hingga orientasi seksual. Ia kerap menekankan bahwa kebijakan inklusif bermanfaat bagi semua orang, bukan hanya kelompok minoritas.
Pengakuan internasional datang saat Jang masuk daftar TIME100 Next 2021, menyoroti aktivisme dan kiprahnya sebagai legislator muda. Di dalam negeri, ia berada di jalur progresif—terkait Partai Justice—dan dikenal mendorong dialog menyeberangi batas politik. Meski jalan RUU Anti-Diskriminasi di Korsel kerap tertahan oleh resistensi sosial–politik, Jang mempertahankan strategi komunikasi publik: membangun empati lewat narasi personal dan data kebijakan.
Jang Hye-young — “Hukum anti-diskriminasi bukan sekadar soal kelompok tertentu; ini menyangkut martabat semua warga negara.” [Ringkasan pernyataan publik].
Apa relevansinya bagi pembaca Indonesia, khususnya Sumatra? Diskursus anti-diskriminasi dan akses layanan publik inklusif juga mengemuka di kota-kota Sumatra—dari penataan fasilitas ramah disabilitas hingga kebijakan kerja yang adil. Praktik baik yang didorong Jang—pemaduan narasi pengalaman, bukti riset, dan advokasi lintas sektor—dapat menjadi rujukan komunitas sipil dan pemerintah daerah saat menyusun aturan turunan atau program inklusi.
Dalam konteks media dan budaya populer Korea, Jang memanfaatkan platform digital untuk menjangkau pemilih muda, seraya mengusung etika komunikasi tanpa ujaran kebencian. Sisi lain dari panggung politiknya menuntut negosiasi intens dengan kelompok keagamaan–konservatif yang menolak perluasan proteksi hukum. Situasi ini membuat pembahasan RUU kerap berlarut. Status: [Menunggu verifikasi] untuk timeline pembacaan RUU terbaru pada 2025 karena jadwal dapat berubah mengikuti dinamika politik.
Ke depan, isu anti-diskriminasi di Korsel akan terus memerlukan koalisi lintas partai dan dukungan masyarakat sipil. Bagi komunitas akademik dan LSM di Indonesia, pengalaman Korsel memberi pelajaran: membangun konsensus publik sama pentingnya dengan merumuskan pasal-pasal hukum.







