Lhokseumawe, Gema Sumatra – Dua kakak beradik korban penyiraman air baterai di Lhokseumawe mengalami hambatan serius dalam mendapatkan perawatan medis.
Keduanya sempat tertahan di Rumah Sakit Kasih Ibu Lhokseumawe akibat kurangnya biaya, yang membuat proses rujukan ke RSUD Cut Meutia tertunda.
Keluarga korban terpaksa mencari pinjaman dari berbagai pihak untuk memenuhi tagihan yang terus membengkak.
Pada awalnya, mereka tidak menyadari bahwa layanan medis yang di berikan adalah layanan umum.
Akibatnya, mereka kaget ketika harus membayar biaya sebesar Rp 12 juta untuk perawatan awal.
Keluarga mengaku bahwa mereka berusaha mencari bantuan dan utang dari tetangga serta kerabat, namun hingga hari kedua perawatan, biaya yang ditagihkan sudah mencapai Rp 20 juta.
Situasi semakin sulit ketika pihak rumah sakit menahan proses rujukan ke RSUD Cut Meutia, padahal peralatan di Rumah Sakit Kasih Ibu sangat terbatas.
Keluarga berhasil mengumpulkan Rp 10 juta untuk biaya perawatan.
Namun, pihak rumah sakit tetap meminta jaminan berupa sertifikat tanah sebelum mengizinkan mereka merujuk anak-anak tersebut.
Kondisi ini membuat keluarga semakin terbebani, terutama mengingat ibu korban hanya bekerja sebagai buruh masak di sebuah warung makan.
Mereka juga mengkhawatirkan biaya pengobatan di RSUD Cut Meutia yang tidak bisa di tanggung oleh BPJS Kesehatan.
Keluarga berharap ada solusi bagi orang miskin seperti mereka agar bisa mendapatkan bantuan dari BPJS atau lembaga lain yang bisa menanggung biaya perawatan medis.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum CaKRA (Cahaya Keadilan Rakyat Aceh) turut menyayangkan tindakan rumah sakit yang menahan pasien akibat ketidakmampuan membayar biaya.
Ketua YLBH CaKRA, Fakhrurrazi SH, menegaskan bahwa korban penganiayaan berat seperti ini seharusnya mendapatkan perawatan tanpa terkendala biaya.
Fakhrurrazi SH menegaskan bahwa BPJS Kesehatan mungkin tidak menanggung biaya perawatan bagi korban.
Namun, ia menambahkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seharusnya dapat menanggung biaya pengobatan korban kejahatan.
Fakhrurrazi menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, korban penganiayaan berat memiliki hak untuk menerima bantuan medis.
Ia juga menyatakan bahwa korban berhak mendapatkan dukungan psikososial dan psikologis.
Menurutnya, perlindungan tersebut sangat penting untuk memastikan kesejahteraan para korban.
Oleh karena itu, ia mendesak agar rumah sakit segera mengembalikan biaya yang sudah di ambil dari keluarga korban dan mengajukan klaim melalui BPJS atau LPSK.
Hal ini untuk memastikan tidak ada lagi korban kejahatan yang tertahan di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya pengobatan.
YLBH CaKRA mendesak pemerintah daerah, termasuk gubernur dan Pemerintah Kota Lhokseumawe, untuk segera mengeluarkan instruksi.
Instruksi tersebut harus melarang rumah sakit menagih biaya pengobatan dari korban kejahatan.
Fakhrurrazi mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan tegas terkait penagihan biaya pengobatan bagi korban kejahatan.
Ia menekankan bahwa rumah sakit seharusnya menagih biaya perawatan medis kepada lembaga yang bertanggung jawab, seperti LPSK.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi korban kejahatan yang terbebani oleh biaya perawatan medis.
Ikuti Update Berita Terkini Gema Sumatra di: Google News