JAKARTA, Jumat, 14 November 2025, 11.15 WIB — Badai geomagnetik kuat level G4 yang melanda Bumi pada 12–14 November 2025 memicu penampakan aurora hingga jauh di wilayah Amerika Serikat dan Eropa. Namun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan, Indonesia termasuk wilayah Sumatra tidak mengalami dampak signifikan berkat posisi geografis di sekitar garis khatulistiwa.
NOAA’s Space Weather Prediction Center (SWPC) sebelumnya mengeluarkan peringatan badai geomagnetik G4 (severe) untuk 12 November setelah serangkaian lontaran massa korona (CME) dari Matahari sejak 9 November. Badai ini memicu kondisi G3–G4 yang berpotensi berlangsung hingga 14 November (UTC), dengan peningkatan peluang aurora di lintang menengah.
Deputi Geofisika BMKG, mengutip siaran pers resmi, menjelaskan bahwa indeks gangguan geomagnetik global sempat mencapai kategori badai berat, namun efeknya di Indonesia jauh lebih kecil. Syirojudin, pakar geofisika BMKG yang dikutip kantor berita, menyebut sabuk magnetosfer di wilayah ekuator (Equatorial Electrojet) berperan sebagai perisai tambahan dari partikel bermuatan tinggi. “Secara umum, masyarakat di Indonesia tidak perlu panik. Potensi dampak lebih terasa pada sistem teknologi, terutama satelit dan komunikasi radio, bukan pada kesehatan,” ujarnya.
Bagi Sumatra, potensi gangguan yang paling mungkin berupa penurunan kualitas sinyal radio frekuensi tinggi (HF), gangguan sesaat pada layanan GPS, dan peningkatan noise pada jaringan komunikasi tertentu, terutama di wilayah yang bergantung pada satelit untuk komunikasi maritim dan penerbangan. Sejauh ini belum ada laporan gangguan besar pada jaringan listrik atau pemadaman akibat badai geomagnetik di sistem kelistrikan Sumatra.
Sejumlah kantor BMKG di daerah, termasuk di Batam, juga menyampaikan penegasan bahwa badai geomagnetik global ini tidak berdampak signifikan pada aktivitas harian masyarakat. Fokus pemantauan lebih diarahkan ke sistem navigasi dan komunikasi yang dikendalikan operator terkait, seperti maskapai penerbangan, penyedia layanan satelit, dan pengelola jaringan listrik. Hingga Jumat pagi, pantauan lembaga antariksa internasional menunjukkan aktivitas badai cenderung menurun, meski kondisi G1–G3 masih mungkin terjadi.
Untuk masyarakat Sumatra, pakar kebumian mengingatkan pentingnya memahami bahwa badai geomagnetik berbeda dengan cuaca harian. Fenomena ini terjadi di lapisan atmosfer atas dan ruang dekat Bumi sehingga tidak memicu hujan, angin kencang, atau gelombang panas di permukaan. Dampak langsung lebih banyak dirasakan oleh sistem teknologi sensitif, sementara aktivitas sehari-hari seperti bekerja, belajar, ataupun perjalanan darat dan laut tetap dapat dilakukan seperti biasa dengan memantau informasi resmi.
BMKG dan instansi terkait akan terus memonitor kondisi cuaca antariksa dan menyampaikan pembaruan bila terjadi perubahan signifikan. Operator telekomunikasi, navigasi, dan penyedia layanan satelit diimbau menyiapkan prosedur kontinjensi, namun masyarakat tidak perlu melakukan langkah khusus selain memantau informasi resmi dan tidak mudah terpancing kabar menyesatkan, misalnya isu gelap total atau rusaknya seluruh satelit yang tidak didukung data ilmiah.







