Fatih Architecture Studio Banner
Fatih Architecture Studio Banner

PP 45/2025 Soal Denda Sawit Picu Kekhawatiran Petani Kecil di Sumatra

Apkasindo minta kebijakan lebih manusiawi bagi kebun rakyat di kawasan hutan

Sawit & B40
Sawit & B40

[PEKANBARU/JAKARTA], Senin, 17 November 2025, 10.45 WIB — Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang perubahan atas PP 24/2021 di bidang kehutanan memantik kekhawatiran petani kecil di berbagai sentra sawit Sumatra. Aturan baru ini menambah jenis sanksi administratif berupa penguasaan kembali kawasan hutan dan menetapkan denda tunggal Rp 25 juta per hektare per tahun untuk kebun sawit ilegal di kawasan hutan.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai penerapan sanksi dalam PP 45/2025 berpotensi menekan jutaan petani sawit rakyat yang lahannya belakangan dinyatakan berada di kawasan hutan, termasuk di Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Apkasindo menyebut banyak petani sudah puluhan tahun menggarap lahan, namun baru belakangan mengetahui status hukumnya akibat penertiban masif yang dilakukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Baca Juga:  Medco Ambil Alih Blok Gas Sumsel, Pasokan untuk Riau–Batam Diproyeksi Stabil

“Denda administratif Rp 25 juta per hektare per tahun itu terlalu berat bagi petani kecil. Bagi kebun 2–3 hektare saja, jumlahnya bisa menghapus seluruh pendapatan tahunan,” ujar Riyadi Mustofa, Bidang Penelitian dan Keberlanjutan DPP Apkasindo.

Menurutnya, penertiban seharusnya menjamin tertib ruang dan kelestarian hutan tanpa mematikan usaha yang terlanjur tumbuh dan menjadi penopang ekonomi keluarga di desa-desa sentra sawit Sumatra.

Di lapangan, Satgas PKH gencar melakukan verifikasi dan penindakan di berbagai kawasan, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh dan Sumatera Utara, serta konsesi di beberapa provinsi sentra sawit.

Baca Juga:  Jalan Minas–Perawang Rusak karena Truk ODOL, Gubernur Riau Siapkan Skema Kolaborasi Perbaikan

Sebagian kebun sawit di kawasan konservasi telah ditebang, sementara lahan lain berpotensi dikembalikan kepada negara atau dialihkan pengelolaannya. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengingatkan agar pendekatan Satgas tidak mengorbankan petani kecil yang sebenarnya menjadi korban tata ruang tumpang-tindih.

Bagi petani di Riau dan Sumatra lainnya, risiko denda tinggi dan ancaman penguasaan kembali lahan menimbulkan ketidakpastian baru.

Sebelumnya, berbagai kajian dan diskusi telah mengajukan opsi land amnesty terbatas bagi kebun rakyat yang terlanjur berada di kawasan hutan produksi, dengan syarat luas tertentu, kewajiban perbaikan tata kelola, dan pengakuan hak yang jelas.

Baca Juga:  118 Titik Panas, Suhu Sentuh 36°C; Warga Riau Diminta Tak Membakar

Apkasindo mendorong skema serupa dipertimbangkan kembali agar penertiban tidak justru menimbulkan konflik agraria baru di desa.

Pemerintah pusat melalui Kemenhut berargumentasi bahwa PP 45/2025 diperlukan untuk memperkuat penegakan hukum dan menutup kebocoran penerimaan negara bukan pajak dari denda administratif di sektor kehutanan, sekaligus mendorong pelaku usaha patuh pada tata ruang.

Sejumlah pakar hukum lingkungan mengusulkan pembeda jelas antara perusahaan besar dan petani kecil dalam penerapan sanksi, termasuk skema keringanan atau konversi kewajiban menjadi program pemulihan lingkungan bagi pekebun kecil. Pembaruan: redaksi akan memantau tindak lanjut dialog pemerintah dengan perwakilan petani sawit Sumatra terkait implementasi PP 45/2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *