GEMASUMATRA.COM – Tradisi budaya lokal Indonesia kembali menarik perhatian dunia, kali ini lewat sosok bocah 11 tahun asal Riau bernama Rayyan Arkan Dikha. Namanya mendadak viral usai aksinya di ajang Pacu Jalur, lomba perahu tradisional khas Kuantan Singingi, Riau, beredar luas di media sosial. Dalam video berdurasi singkat itu, Rayyan tampil sebagai Togak Luan — posisi simbolik yang berdiri di pucuk kapal, berfungsi sebagai motivator tim dayung.
Namun bukan sekadar berdiri, Rayyan menghadirkan performa yang begitu karismatik. Dengan busana adat Teluk Belanga hitam lengkap dengan kacamata hitam dan ekspresi serius, ia mengayunkan tangan dan tubuh dengan gerakan perlahan yang penuh keyakinan. Gerakannya tidak berlebihan, justru menciptakan atmosfer tenang yang kontras dengan energi cepat para pendayung di belakangnya.
Video Rayyan kemudian viral dan memunculkan istilah baru: “aura farming”, istilah yang digunakan netizen untuk menggambarkan kemampuannya menyebarkan ketenangan dan kharisma hanya dengan gerakan sederhana. Istilah ini berasal dari frasa populer di kalangan pengguna TikTok dan Twitter, yang awalnya sering digunakan untuk menjelaskan “vibe” atau pancaran energi non-verbal seseorang. Rayyan dianggap sebagai manifestasi nyata dari konsep itu—bocah yang bisa “menanam” aura positif di tengah keramaian.
Fenomena ini tak hanya menyebar di dalam negeri. Media internasional seperti Times of India dan IndiaTimes menulis tentang Rayyan, mengulas bagaimana performanya menjadi simbol budaya dan viralitas digital yang unik. Selebriti luar negeri dan atlet bahkan ikut meniru gaya Rayyan dalam video-video pendek sebagai bentuk penghormatan maupun lelucon. Fenomena ini menjadi contoh nyata bagaimana kekuatan media sosial bisa mengangkat budaya lokal ke kancah global.
Pemerintah Provinsi Riau merespons cepat. Gubernur Riau melalui Dinas Pariwisata langsung menunjuk Rayyan sebagai Duta Pariwisata Anak Riau, menyematkan piagam penghargaan dan beasiswa pendidikan. Rayyan juga diundang tampil dalam sejumlah acara budaya resmi, memperkenalkan Pacu Jalur sebagai ikon wisata unggulan daerah tersebut. Langkah ini dianggap strategis untuk memperkuat promosi budaya berbasis generasi muda.
Lebih dari sekadar hiburan, aksi Rayyan juga menjadi refleksi akan pentingnya pelestarian budaya tradisional di era digital. Pacu Jalur, yang dulunya hanya dikenal sebagai lomba rakyat tahunan, kini mendapat sorotan sebagai festival yang memiliki nilai estetika, spiritualitas, dan kebersamaan. Sosok Rayyan membuktikan bahwa generasi muda bisa menjadi jembatan penghubung antara tradisi dan teknologi.
Di tengah banyaknya tren digital yang cepat hilang, Rayyan justru menghadirkan tren yang menyejukkan dan memberi ruang apresiasi terhadap nilai-nilai lokal. “Aura farming” bukan hanya gerakan—ia kini menjadi simbol kekuatan budaya, ekspresi emosional yang membumi, dan identitas lokal yang berani tampil di panggung dunia.






