[PANDAN, SUMATERA UTARA], Rabu, 29 Oktober 2025, WIB — Untuk pertama kalinya, peneliti mengonfirmasi keberadaan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di luar ekosistem Batang Toru. Sejumlah individu terpantau di hutan gambut Lumut Maju, Kabupaten Tapanuli Tengah. Temuan ini memperluas peta sebaran satwa langka tersebut dan menegaskan perlunya langkah cepat penyelamatan habitat yang kini berstatus areal penggunaan lain (APL).
Tim Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) bersama Balai Besar KSDA Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) melakukan serangkaian survei sejak 2022. Lokasi temuan berada di kawasan hutan gambut Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut, berjarak sekitar 32 km dari Batang Toru.
Pada 2024, tim mencatat perjumpaan langsung; pada 2025, pantauan lanjutan mendokumentasikan induk dan anak. Status APL di lokasi dinilai rawan alih fungsi, sehingga penguatan perlindungan menjadi sorotan utama.
Secara data, bentang hutan gambut di Lumut Maju tercatat sekitar 1.234 hektare. Tim surveyor menemukan sedikitnya 22 sarang pada dua tahap (awal 5 sarang, kemudian 17 sarang), disusul observasi langsung individu jantan pada Oktober 2024.
Untuk memastikan spesies, sampel DNA feses yang diambil pada Januari 2025 dianalisis di laboratorium; hasilnya mengonfirmasi individu di Lumut Maju adalah orangutan Tapanuli. Selain itu, pemetaan udara dengan drone termal dan transek darat mengindikasikan jejak jelajah di petak hutan sekitar.
Onrizal, Dosen Ekologi Hutan USU: “Ini tonggak penting upaya perlindungan orangutan Tapanuli. Temuan di Lumut mendukung prediksi ilmiah bahwa area ini berpotensi menjadi habitat spesies tersebut.” Syafrizaldi, Direktur Eksekutif OIC, menjelaskan investigasi bermula dari laporan warga pada 2022, dilanjutkan survei OIC–BBKSDA hingga perjumpaan langsung. Keterangan keduanya mempertegas kontinuitas riset dan validasi ilmiah di lapangan.
Dampak bagi warga setempat dan pelaku usaha kecil menengah (UMKM) di Tapanuli Tengah mencakup dua sisi. Di satu sisi, perlindungan habitat berpotensi membuka peluang ekonomi berbasis konservasi—misalnya jasa pemandu, homestay, dan produk lokal—dengan standar ramah satwa.
Di sisi lain, alih fungsi lahan yang tak terkendali meningkatkan risiko konflik manusia–satwa, merugikan kebun rakyat, dan memicu praktik penanganan mandiri yang membahayakan. Ketersediaan kanal aduan cepat (HOCRU/OIC dan BBKSDA) serta prosedur mitigasi menjadi kebutuhan mendesak.
Sebagai konteks, orangutan Tapanuli baru diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada 2017 dan diperkirakan tersisa sekitar 800 individu. Selama ini, populasinya diketahui terbatas pada ekosistem Batang Toru di Sumatera Utara.
Fragmentasi hutan, konversi lahan, serta pembangunan yang memutus koridor ekologis digolongkan sebagai ancaman utama. Karena itu, temuan kelompok di Lumut Maju—yang terpisah puluhan kilometer dan berstatus APL—menjadi peringatan dini untuk menutup celah tata kelola ruang.
Langkah lanjut yang direkomendasikan pemangku kepentingan antara lain: (1) audit perizinan dan pengetatan moratorium pembukaan lahan baru di petak-petak hutan tersisa; (2) kajian perubahan status dari APL menuju skema perlindungan yang memadai (mis. hutan lindung/hutan desa) melalui mekanisme hukum yang tersedia; (3) penyusunan rencana koridor ekologis berbasis bukti, agar konektivitas habitat tak semakin terputus; (4) penguatan patroli, edukasi warga, dan SOP penanganan konflik satwa—dengan dukungan pemerintah daerah, Kementerian LHK, dan mitra konservasi.







