Fatih Architecture Studio Banner
Fatih Architecture Studio Banner
Opini  

Antara Simpati dan Sensasi – Merenungkan Etika di Ruang Digital

Apakah ini simpati tulus, atau sekadar untuk menarik perhatian?

Ket foto: Antara Simpati dan Sensasi - Merenungkan Etika di Ruang Digital (Sumber foto:*/Istimewa)
Ket foto: Antara Simpati dan Sensasi - Merenungkan Etika di Ruang Digital (Sumber foto:*/Istimewa)

Opini, Gema Sumatra – Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, peristiwa tragis seperti kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari tidak hanya menjadi sorotan masyarakat lokal tetapi juga viral di media sosial. Di satu sisi, media sosial memungkinkan masyarakat untuk berbagi rasa duka dan empati, tetapi di sisi lain, fenomena ini juga mengungkap sisi gelap budaya digital, yaitu eksploitasi tragedi demi konten yang menunjukkan bagaimana ruang etika digital dapat menjadi medan yang kompleks, penuh dengan benturan antara kemanusiaan dan budaya digital.

Ketika melihat fenomena orang-orang yang menjadikan makam Nia sebagai latar konten, saya bertanya-tanya apakah ini simpati tulus, atau sekadar untuk menarik perhatian? Bukankah makam seharusnya menjadi ruang sakral untuk mengenang dan berdoa, bukan menjadi panggung visual demi like dan followers?

Antropologi Digital dan Perilaku di Dunia Maya

Antropologi digital mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dan membentuk budaya di ruang digital. Dalam kasus ini, fenomena masyarakat yang membuat konten di makam Nia menunjukkan bagaimana tragedi di dunia nyata dapat berubah menjadi komoditas digital. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube sering kali menjadi panggung untuk konten yang bertujuan menarik perhatian, mendapatkan “likes,” atau bahkan menghasilkan keuntungan finansial.

Baca Juga:  Bedah Editorial: Perkembangan AI Saat Ini Mengalami Stagnasi? Apa Penyebabnya?

Ketika saya melihat tentang orang-orang yang membuat video di makam Nia, saya teringat pada istilah “economy of attention” di mana perhatian menjadi mata uang paling berharga di era digital ini. Bayangkan sebuah tempat yang penuh duka dan kenangan mendalam berubah menjadi “aset visual.” Kamera merekam, konten diunggah, lalu likes dan komentar mengalir. Saya tidak bisa tidak merasa bahwa makna spiritual tempat tersebut perlahan terkikis, tergantikan oleh kepentingan untuk tampil di dunia maya.

Simpati atau Eksploitasi?

Daniel Miller dan Heather A. Horst (2012) dalam buku mereka “The Digital and the Human” menekankan bahwa teknologi digital tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi tetapi juga bagaimana mereka memahami dirinya dan masyarakat. Dalam konteks ini, tragedi yang menimpa Nia dan perilaku digital di sekitarnya dapat dilihat sebagai cerminan bagaimana teknologi digital memengaruhi ekspresi budaya dan norma sosial.

Di sini, saya melihat kontradiksi dimana meskipun beberapa orang berpendapat bahwa konten di makam Nia bertujuan untuk menunjukkan simpati, tetapi apa yang sebenarnya dirasakan oleh keluarga korban? Tindakan ini justru sering kali dianggap kurang menghormati perasaan keluarga korban. Kehadiran kamera dan proses syuting video klip di makam dapat membuat kita merasa terpisah secara emosional dari tragedi yang sebenarnya, seolah-olah kita hanya menyaksikan sebuah pertunjukan daripada merasakan kesedihan yang mendalam. Tragedi tidak lagi dilihat sebagai pengalaman manusiawi yang memerlukan penghormatan, melainkan sebagai “bahan baku” konten yang mudah dikonsumsi. Saat kamera merekam, apakah duka keluarga benar-benar dihormati, atau justru menjadi latar yang tanpa sengaja mengeksploitasi kesedihan mereka? Ini adalah pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan kepada diri sendiri setiap kali kita membuka kamera di tempat-tempat seperti itu.

Baca Juga:  Bedah Editorial: Skandal “Kiss Cam” dan Reputasi Perusahaan di Era Transparansi Digital

Merenungkan Kembali Makna Kebudayaan di Era Digital

Kita tidak bisa memungkiri bahwa budaya berubah seiring waktu. Tapi, apakah perubahan itu harus mengorbankan nilai-nilai dasar seperti rasa hormat dan empati? Dalam kasus ini, saya merasa kita perlu merenungkan ulang bagaimana kita memanfaatkan teknologi untuk tetap menghormati tradisi, sembari menavigasi dunia dan etika digital yang serba cepat ini?

Dalam kasus Nia, praktik membuat konten di makam menunjukkan adanya perubahan nilai, di mana penghormatan terhadap ruang sakral di dunia nyata dapat tergeser oleh kebutuhan akan visibilitas di dunia digital. Transformasi ini mencerminkan bagaimana etika digital membentuk kembali cara kita memahami dan menjalankan kebudayaan.

Antropologi digital juga menyoroti bagaimana media sosial mendistribusikan kekuasaan di antara pengguna. Setiap individu memiliki akses ke media sosial yang dapat menjadi “pembentuk narasi,” memutuskan bagaimana tragedi diceritakan dan dipersepsikan oleh publik. Namun, kebebasan ini sering kali mengabaikan norma sosial tradisional, seperti penghormatan terhadap privasi dan perasaan keluarga korban.

Refleksi untuk Budaya Digital

Setiap kali saya membuka media sosial dan melihat konten seperti ini, hati saya serasa ditarik ke dua arah yang bertentangan. Di satu sisi, saya memahami bahwa orang ingin berbagi cerita dan emosi. Namun di sisi lain, saya bertanya di mana batas antara berbagi dan eksploitasi?

Baca Juga:  Tanpa Disadari Luna Maya Sering Baca Komentar Negatif, Pacar Maxime Bouttier Ungkapkan Isi Hati

Kehadiran media sosial memang membawa tantangan, tetapi juga peluang. Saya percaya, dengan refleksi yang tepat, kita bisa menciptakan norma baru yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seperti kata Miller dan Horst, digitalisasi seharusnya memperkaya pengalaman manusia, bukan justru menghapus makna kemanusiaan itu sendiri.

Kasus ini adalah pengingat bahwa teknologi, betapapun canggihnya, tetap hanya sebuah alat. Kita, manusialah yang memutuskan bagaimana alat itu digunakan, apakah untuk kebaikan atau untuk keuntungan pribadi semata. Saya yakin, dengan kesadaran kolektif, kita bisa membentuk budaya digital yang lebih berempati, menghargai privasi, dan memperkuat solidaritas manusia.

Menjaga Norma di Era Digital

Sebagai pengguna media sosial, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk lebih bijak. Kita memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan nilai-nilai etika digital dalam setiap interaksi di ruang maya. Dengan memahami dampak tindakan kita di dunia maya terhadap dunia nyata, kita dapat mendorong terciptanya budaya digital yang lebih empatik, menghargai privasi, dan memperkuat solidaritas kemanusiaan. Kasus ini menjadi pengingat bahwa meskipun teknologi terus berkembang, nilai-nilai dasar seperti rasa hormat, empati, dan kepekaan harus tetap menjadi pedoman kita dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun dunia digital. Bukankah itu esensi dari menjadi manusia yang benar-benar saling menghormati?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *