Opini, Gema Sumatra – Pernahkah Anda membayangkan betapa beratnya hidup dengan gangguan mental namun tak bisa bercerita kepada siapapun? Di era modern ini, kita telah mecapai kemajuan pesat dalam berbagai bidang, tetapi ironisnya, pembicaraan tentang kesehatan mental masih sering dianggap tabu. Stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mengalami masalah kesehatan mental masih menjadi tembok penghalang yang sulit diruntuhkan dalam masyarakat kita.
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa satu dari delapan orang di dunia hidup dengan gangguan mental. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 7% penduduk mengalami gangguan mental emosional. Yang lebih mengkhawatirkan, hanya sebagian kecil dari mereka, kurang dari 10%, yang berani melangkah mencari bantuan profesional.
Mengapa angka pencarian bantuan begitu rendah? Jawabannya terletak pada akar budaya dan persepsi masyarakat kita. Banyak orang masih menganggap gangguan mental sebagai akibat dari “kurangnya iman” atau “kelemahan pribadi”. Pandangan semacam ini tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya, karena membuat para penderita semakin enggan membuka diri dan mencari pertolongan yang mereka butuhkan.
Mari kita lihat kasus nyata dari seorang teman saya, sebut saja Diana, seorang eksekutif muda yang sukses dalam karirnya. Selama bertahun-tahun, dia menderita anxiety disorder dalam diam. Setiap hari dia mengenakan “topeng” sebagai orang yang selalu ceria dan kompeten, sementara di dalam, dia bergulat dengan serangan panik dan kecemasan yang melumpuhkan. “Saya takut dianggap tidak profesional atau tidak mampu menjalankan pekerjaan jika orang tahu kondisi saya,” ungkapnya. Kisah Diana hanyalah satu dari ribuan kisah serupa yang tersembunyi di balik facade kesempurnaan yang kita tampilkan ke dunia.
Dampak dari keengganan berbicara tentang kesehatan mental tidak hanya bersifat individual, tetapi juga sosial dan ekonomi. Menurut studi dari Kementerian Kesehatan, produktivitas yang hilang akibat gangguan mental yang tidak tertangani mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Belum lagi biaya sosial berupa rusaknya hubungan keluarga, menurunnya prestasi akademik, hingga meningkatnya angka bunuh diri.
Lalu, bagaimana kita bisa memulai perubahan? Pertama, kita perlu memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Ketika seseorang mengalami flu, kita tidak ragu untuk menyarankan mereka ke dokter. Mengapa tidak berlaku sama untuk masalah kesehatan mental?
Kedua, institusi pendidikan dan tempat kerja perlu mengambil peran lebih aktif. Program-program kesadaran kesehatan mental, pelatihan pengenalan gejala awal gangguan mental, dan penyediaan akses ke layanan konseling profesional perlu menjadi prioritas. Beberapa perusahaan progresif di Indonesia telah mulai menerapkan kebijakan “mental health day” dan menyediakan asuransi yang mencakup perawatan kesehatan mental.
Ketiga, media massa dan platform digital perlu dimanfaatkan secara optimal untuk menyebarkan informasi akurat dan menghapus stigma. Cerita-cerita inspiratif dari para survivors, informasi tentang gejala dan penanganan gangguan mental, serta panduan mencari bantuan profesional perlu disebarluaskan secara masif dan berkelanjutan.
Di sisi lain, peran pemerintah juga crucial dalam membangun infrastruktur kesehatan mental yang memadai. Saat ini, rasio psikiater di Indonesia hanya 0,01 per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO sebesar 1:100.000. Diperlukan investasi besar dalam pendidikan tenaga kesehatan mental dan pembangunan fasilitas layanan kesehatan mental yang terjangkau.
Gerakan kesadaran kesehatan mental juga perlu melibatkan komunitas dan tokoh masyarakat. Para pemuka agama, misalnya, bisa berperan penting dalam mengedukasi jemaahnya bahwa mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Begitu pula dengan tokoh publik yang bisa menjadi role model dengan berbagi pengalaman mereka terkait kesehatan mental.
Yang tidak kalah penting adalah peran keluarga sebagai garis depan dalam mendukung kesehatan mental. Menciptakan lingkungan yang terbuka dan suportif di rumah, di mana setiap anggota keluarga merasa aman untuk mengekspresikan perasaan dan mencari bantuan, adalah fondasi penting dalam membangun kesadaran kesehatan mental yang lebih baik.
Mengakhiri stigma terhadap kesehatan mental memang bukan pekerjaan mudah atau cepat. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat. Namun, setiap pembicaraan yang kita mulai, setiap dukungan yang kita berikan, dan setiap tindakan yang kita ambil untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Jadilah pendengar yang baik ketika seseorang membuka diri tentang masalah kesehatan mentalnya. Tunjukkan empati, bukan penghakiman. Karena pada akhirnya, menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental bukan hanya tentang membantu mereka yang sedang berjuang, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih memahami, peduli, dan inklusif untuk kita semua.