PEKANBARU, RIAU, Kamis, 20 November 2025, 14.30 WIB — Ribuan warga dari berbagai kabupaten/kota di Riau yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Marwah Riau (KOMMARI) memadati Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Mereka menggelar aksi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, menuntut transparansi penetapan kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan perlindungan hak tanah adat.
Massa datang menggunakan puluhan bus dan kendaraan pribadi sejak pagi, membuat arus lalu lintas di ruas utama ibu kota provinsi itu sempat lumpuh total selama beberapa jam. Peserta aksi menyebut penertiban kawasan hutan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan pengelolaan lahan sitaan Agrinas Palma Nusantara tidak disertai dokumen hukum yang jelas, sehingga dinilai merugikan masyarakat.
Sekretaris Jenderal KOMMARI, Abdul Aziz, menyatakan persoalan utama yang mereka suarakan adalah keterbukaan data pengukuhan kawasan hutan di Riau, mulai dari SK 173 Tahun 1986 hingga SK 903 Tahun 2016. Menurutnya, selama dokumen tersebut tidak dibuka, masyarakat akan terus merasa diperlakukan tidak adil terkait status tanah yang telah puluhan tahun mereka kelola.
Abdul Aziz, Sekretaris Jenderal KOMMARI — “Tanpa transparansi dasar hukum kawasan hutan, tindakan Satgas PKH akan selalu dianggap cacat prosedur dan merugikan warga Riau.”
Dalam pernyataannya, KOMMARI membawa lima tuntutan pokok. Selain meminta Satgas PKH membuka bukti pengukuhan kawasan hutan, mereka juga mendesak penghentian aktivitas Satgas dan Agrinas bila legalitas lahan sitaan tidak dapat dibuktikan. Massa menuntut transparansi luas dan pengelolaan lahan sitaan, pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 tentang pengakuan tanah ulayat, serta penarikan aparat bersenjata dari konflik lahan di lapangan.
Bagi warga, sengketa kawasan hutan ini berimbas langsung pada akses lahan pertanian dan kebun sawit skala kecil yang menjadi sumber nafkah. Sejumlah peserta aksi mengaku khawatir lahannya akan kembali disita tanpa kejelasan kompensasi, sehingga memukul pendapatan keluarga dan menghambat akses modal UMKM berbasis perkebunan.
Persoalan tanah adat dan penguasaan lahan di Riau telah berlangsung lama, terutama di sekitar TNTN dan kawasan hutan produksi. Berbagai putusan pengadilan dan kebijakan penertiban belum sepenuhnya menjawab tuntutan masyarakat adat dan petani kecil, sementara tekanan terhadap tutupan hutan dan komitmen iklim nasional menuntut pengawasan lebih ketat.
Kejati Riau menyatakan akan menampung dan meneruskan aspirasi massa kepada pihak terkait di tingkat pusat, sembari menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran di kawasan hutan tetap berjalan. Pemerintah pusat dan Pemprov Riau didorong membuka ruang dialog lebih luas dengan perwakilan masyarakat adat dan petani, agar penataan kawasan hutan tidak mengorbankan keberlanjutan hidup warga di desa-desa sekitar TNTN.







