Bedah Editorial, BISNIS – Melihat kembali bahasan Editorial sebelumnya tentang Kajian Perhitungan Rasio Tingkat Pendidikan, dimana akan membantu membangun potensi akan Sumber Daya Alam hingga Sumber Daya Manusia dari setiap daerah. Minyak nilam yang mulai memincut di satu dekade ke belakang, menarik mata banyak pengusaha, namun industrialisasinya belum ada secara masif.
Dengan adanya potensi ini, penulis mengajak lulusan sarjana pertanian di Aceh untuk sama-sama melakukan terobosan-terobosan dalam hal kajian-kajian untuk kesiapan industri nilam di Aceh.
Potensi minyak nilam di Aceh
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Syaifullah Muhammad dalam beberapa kesempatan, bahwa minyak nilam Aceh merupakan yang terbaik dari segi kualitasnya. Harga minyak nilam Aceh juga pernah mencapai Rp. 2.100.000, walaupun penulis melihat acap kali harga tidak stabil, menyentuh Rp. 1.300.000 bahkan di bawah itu.
Ketidakstabilan harga di pasar menjadi polemik tersendiri bagi para petani. Dimana kestabilan harga pengepul merupakan hal penting. Dan dalam hal ini organisasi pengusaha, pemerintah, sampai kampus dapat ikut serta membantu membuat kestabilan harga dengan menjaga permainan harga, juga memastikan kualitas dan kuantitas nilam yang tersedia stabil di pasar.
Selain itu, penting juga pengembangan industri penyulingan minyak nilam di Aceh. Dengan tingginya potensi penanaman nilam, tidak dibarengi dengan alat suling nilam yang mencukupi. Sehingga dalam sehari sebuah kilang nilam hanya dapat memproduksi 5 sampai 10 Liter minyak nilam per hari.
Biaya untuk membangun satu alat penyulingan nilam juga tergolong tinggi. Investasi yang diperlukan bisa diatas 150 juta dengan kapasitas suling 5 sampai 10 L per hari. Namun jika kita menghitung BEP yang hanya 2-4 minggu untuk penyulingan minyak nilam ini, tentu sebenarnya merupakan hal yang sangat menguntungkan dalam kacamata investasi.
Jika risiko dapat ditekan dalam hal kepastian harga jual, tentu sebenarnya potensi industri minyak nilam di Aceh dapat menjadi investasi yang menguntungkan.







