SURABAYA – Hubungan antara Beijing dan Hong Kong kembali menegang di tengah gelombang pembubaran partai dan tekanan hukum terhadap aktivis pro-demokrasi. Beberapa peristiwa terkini menunjukkan transformasi cepat dalam lanskap politik dan ekonomi di bekas koloni Inggris ini.
Dalam perkembangan paling signifikan, dua partai pro-demokrasi besar di Hong Kong—Democratic Party dan League of Social Democrats—telah membubarkan diri menyusul tekanan pihak berwenang. Demokratic Party mulai melikuidasi diri pada awal 2025 setelah mendapatkan sinyal tegas dari Beijing, sementara League of Social Democrats mengumumkan penutupan total akibat “intimidasi berat dan ketakutan terhadap keselamatan kader”.
Tekanan politik juga meluas ke legislatif. Rancangan kode etik baru untuk anggota Dewan Legislatif Hong Kong kini mengharuskan legislator menyatakan “dukungan tulus” terhadap Beijing dan membatasi kritik terhadap pemerintah eksekutif. Langkah ini dilihat sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan pro-Beijing dan semakin mempersempit ruang demokrasi .
Penegakan hukum anti-separatisme terus diperketat. Empat warga Hong Kong ditangkap baru-baru ini karena terlibat gerakan kemerdekaan Hong Kong dan Tibet, termasuk aktivitas kampanye online dan pelatihan militer terhadap diaspora di luar negeri. Selain itu, terdapat banding oleh 12 aktivis dari kasus “47 democrats” yang sebelumnya dinyatakan bersalah atas upaya primer politik informal tahun 2020.
Ekonomi dan investasi pun turut mencerminkan dampak perubahan ini. Meski indeks Hang Seng sempat pulih, termasuk lonjakan modal dari perusahaan teknologi dan consumer, namun reformasi demokrasi yang semakin ketat membuat investor meninjau kembali posisi mereka di Hong Kong. Sementara itu, Beijing mendorong Hong Kong sebagai pusat arbitrase internasional dalam rangka meningkatkan reputasinya pasca krisis politik.
Semua langkah ini mencerminkan strategi yang makin jelas dari Beijing: memperkuat kontrol atas Hong Kong secara politik sambil tetap mempertahankan fungsi ekonomi dan keuangan kota tersebut. Namun bagi warga pro-demokrasi dan pengamat luar, kebijakan ini dinilai mengikis komitmen “satu negara, dua sistem” dan melemahkan kebebasan sipil serta pluralisme.
Bagi pembaca gemasumatra.com—terutama di wilayah Sumatra yang memiliki diaspora Hong Kong atau pelaku bisnis lintas Tiongkok—perkembangan ini perlu mendapat perhatian serius.







