Opini, Gema Sumatra – Kuliah lapangan di sekitaran Pantai Gondoriah di Pariaman memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Tempat yang indah dengan deburan ombak dan panorama yang menakjubkan tidak hanya menjadi latar belakang, tetapi juga menjadi saksi bisu percakapan mendalam antara pelajar dan masyarakat setempat. Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika saya bertemu dengan seorang laki-laki, yang kita sebut “Ajo Pariaman”, berusia sekitar 30 tahun. Pertemuan ini membuka mata saya terhadap berbagai keresahan dan beban pikiran yang menggelayuti kehidupan pribadinya, terutama mengenai fenomena yang berkembang dalam masyarakat, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Diskusi kami dimulai dengan pertanyaan dari Ajo Pariaman mengenai siapa yang saya wawancarai. Saya menjawab bahwa narasumber saya adalah santri dari MTI Al-Jamiliyah, “aa Rancak tu”, kata ajo. Ajo kemudian melanjutkan percakapan dengan refleksi yang cukup mendalam mengenai kondisi pengajian saat ini. Ia mengungkapkan bahwa sekarang, kegiatan-kegiatan pengajian seperti wirid, tahlil, dan tabligh sudah mulai kurang. Ia berfikir, pemimpin Sumatera Barat memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, tetapi mengapa tampak tidak memberikan dorongan yang cukup untuk merutinkan kegiatan-kegiatan berbasis agama ini. Ajo Pariaman bertanya mengapa suara dan pengaruhnya tidak lebih terlihat dalam mendorong masyarakat untuk kembali menggairahkan tradisi keagamaan yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, pengajian tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperdalam ilmu agama, tetapi juga memperkuat ukhuwah antar sesama umat. Hal ini menjadi semakin penting di tengah tantangan di era digital yang dihadapi oleh generasi sekarang. Ajo Pariaman mengajak saya untuk berpikir lebih jauh tentang, apa yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin daerah dan masyarakat untuk membangkitkan kembali semangat pengajian ini? Mengingat Sumatera Barat terkenal dengan kekayaan tradisi dan nilai-nilai keagamaannya, ia berharap ada inovasi dan kolaborasi yang bisa dilakukan agar kegiatan-kegiatan keagamaan ini tidak sekadar diingat, tetapi dihidupkan kembali dengan cara yang relevan bagi generasi sekarang.
Selain itu ajo juga prihatin dengan anak-anak generasi sekarang. Kenapa mereka mau menghabiskan waktu di depan layar HP? Menghabiskan uang dan waktu untuk bermain game seperti judol. “abih pitih manangih-nangih ka rang gaek, ndak bapikia nyo, payah rang gaeknyo mancari pitih”. Tegasnya. Ajo sendiri mengatakan bahwa ia tidak memiliki hp, bukan karna tak mampu, tapi ajo yang memilih. Ia tidak ingin terjebak kepada hal yang menurutnya sia-sia.
Ia sangat miris dengan dampak negatif dari kemajuan teknologi, dampak penyalahgunaan media sosial seperti TikTok dimana orang-orang melakukan segala cara untuk mendapatkan uang secara instan seperti challenge-challengge bodoh demi mendapatkan “paus” (Gift = uang). Ia berharap kominfo bertindak untuk kasus ini.
Ajo Pariaman juga heran mengapa ada aplikasi/situs yang bisa menjawab semua pertanyaan seperti Chat GPT (AI)?
Dalam pengungkapan, kemudahan akses informasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai peran berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. “Kalau semua pertanyaan bisa dijawab oleh AI, artinya kita sedang dipaksa untuk berhenti berpikir”, Kata ajo. Ia khawatir bahwa semakin bergantung pada teknologi, terutama AI, akan membuat manusia kehilangan kemampuan untuk menganalisis dan memecahkan masalah secara mandiri.
Ajo Pariaman percaya bahwa berpikir kritis adalah salah satu keterampilan yang paling berharga dalam perkembangan intelektual dan emosional seseorang. Dengan adanya AI yang dapat memberikan jawaban instan, ada risiko bahwa generasi sekarang akan lebih memilih untuk menerima informasi tanpa mempertimbangkan keakuratan atau relevansinya.
Dari diskusi santai saya dan ajo terlihat sekali bahwa ia sangat peduli dengan kehidupan beragama dan generasi-generasi muda, ia sangat senang kepada mahasiswa ia juga berharap kepada mahasiswa dapat menjadi generasi yang akan membawa perubahan dan ia percaya mahasiswalah yang bisa membantu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada elit-elit politik. Dari sini saya tahu bahwa, tidak semua orang merasa bodoh amat dengan isu-isu yang terjadi, masih ada yang berfikir dan berharap banyak untuk generasi-generasi yang lebih baik nantinya.