Opini, Gema Sumatra – Bencana banjir bandang yang melanda Sumatera Barat pada Mei 2024 kembali menegaskan bahwa permasalahan lingkungan di Indonesia masih jauh dari kata tuntas. Setiap kali bencana terjadi, diskursus publik kerap berulang dengan narasi yang sama: faktor alam, curah hujan tinggi, dan perubahan iklim global.
Namun, apakah kita benar-benar mau terus bersembunyi di balik alasan-alasan itu? Bukankah ada unsur kesalahan manusia yang juga harus dikritisi? Dalam kasus ini, isu lingkungan tak bisa dilepaskan dari politik kebijakan dan moralitas kolektif yang terus-menerus mengabaikan keseimbangan ekosistem.
Banjir bandang bukan sekadar fenomena alamiah. Ia adalah akumulasi dari kesalahan pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Deforestasi besar-besaran di berbagai wilayah Sumatera Barat menjadi faktor pemicu yang tak bisa diabaikan. Alih fungsi lahan hutan menjadi area perkebunan, pertambangan, atau permukiman telah menghilangkan daya serap tanah terhadap air hujan.
Ketika curah hujan tinggi, air tidak lagi mampu terserap secara alami dan akhirnya mengalir deras ke pemukiman, menciptakan banjir dan longsor yang mematikan. Lebih lanjut, kebijakan tata ruang di daerah bencana juga patut dipertanyakan. Pemerintah daerah sering kali memberikan izin eksploitasi lahan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.
Dalam beberapa tahun terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Sumatera Barat meningkat secara signifikan, sering kali tanpa pengawasan yang ketat. Perusahaan-perusahaan besar diberi akses luas untuk mengelola sumber daya, sementara masyarakat lokal kehilangan hak mereka atas lingkungan yang sehat dan aman.
Namun, tanggung jawab atas bencana ini tidak hanya terletak pada kebijakan yang longgar. Kesadaran masyarakat juga memiliki peran yang tak kalah besar. Eksploitasi lingkungan sering kali didukung oleh perilaku konsumtif dan minimnya edukasi mengenai pentingnya keseimbangan ekosistem.
Penebangan liar, pembakaran hutan, dan pembuangan sampah sembarangan masih menjadi praktik yang umum dilakukan, bahkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana. Ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan bukan hanya tentang regulasi, tetapi juga soal moralitas kolektif dan cara kita memperlakukan alam.
Ada kecenderungan bahwa bencana seperti banjir Sumatra hanya menjadi isu sesaat yang segera dilupakan ketika air surut. Setelah tragedi terjadi, perhatian publik meningkat, bantuan berdatangan, dan pejabat turun ke lokasi untuk menunjukkan empati. Namun, setelah semua itu berlalu, masalah utama tetap tidak terselesaikan. Tidak ada langkah konkret untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
Akibatnya, siklus ini terus berulang, dan masyarakat terus menjadi korban dari ketidakpedulian sistemik. Dalam konteks ini, perlu ada perubahan paradigma dalam melihat isu lingkungan. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pemerintah untuk mengambil tindakan. Partisipasi aktif dari masyarakat, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil sangat dibutuhkan.
Edukasi mengenai pentingnya konservasi lingkungan harus ditingkatkan, dan masyarakat perlu didorong untuk berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di daerah mereka masing-masing. Selain itu, perlu ada transparansi dalam pemberian izin usaha yang berpotensi merusak lingkungan.
Pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan izin kepada perusahaan, memastikan bahwa mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap keberlanjutan lingkungan. Isu lingkungan juga tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum. Penegakan hukum yang lemah menjadi celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk terus beroperasi tanpa rasa takut.
Jika tidak ada hukuman yang tegas bagi mereka yang terbukti melakukan deforestasi ilegal atau membuang limbah sembarangan, maka bencana serupa akan terus berulang. Di banyak kasus, kejahatan lingkungan dilakukan oleh korporasi besar yang memiliki jaringan kuat dengan elit politik.
Oleh karena itu, tekanan publik harus semakin kuat untuk memastikan adanya kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kelestarian lingkungan. Pada akhirnya, bencana banjir bandang ini seharusnya menjadi pengingat keras bahwa kita sedang berada di ambang krisis ekologi yang lebih besar. Ini bukan sekadar kejadian alam yang bisa diterima begitu saja, melainkan konsekuensi dari akumulasi kesalahan yang terus dilakukan tanpa pembelajaran.
Kita perlu berhenti mencari kambing hitam dan mulai bertanggung jawab atas lingkungan yang kita tinggali. Jika tidak ada perubahan sikap, maka bencana banjir Sumatra bukan hanya akan menjadi lebih sering, tetapi juga lebih destruktif. Alam tidak pernah salah. Kitalah yang seharusnya mengubah cara kita memperlakukannya sebelum semuanya terlambat.