Opini, Gema Sumatra – Kasus gagal ginjal akut yang terjadi pada anak yang masih berusia dibawah 16 tahun sangat marak terjadi. Hal tersebut mengakibatkan kondisi kesehatan anak-anak tersebut menurun dan harus mejalani prosedur cuci darah untuk mempertahankan hidup mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus ini merupakan kasus yang paling mendominasi pada dunia kesehatan. Fenomena ini sangat mengejutkan dunia kesehatan karena melibatkan populasi yang rentan serta juga menjadi cermin kegagalan yang sistematik dalam tata kelola kesehatan, termasuk pengawasan obat, penanganan medis, serta edukasi masyarakat.
Menjalani prosedur cuci darah merupakan hal yang menyakitkan bagi anak-anak serta juga dapat berdampak pada fisik maupun emosional anak-anak. Saat menjalani prosedur yang berlangsung lama ini dapat membuat psikologis anak terguncang, yang mana mereka akan merasa cemas dan terisolasi serta mengalami permasalahan pada tumbuh kembangnya serta emosionalnya. Meski demikian hal tersebut dapat diatasi dengan adanya dukungan dari keluarga, tenaga medis dan anak-anak yang menjalani cuci darah masih memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Anak-anak yang mengalami gagal ginjal akut akan sering mengalami kesusahan dan ketidakmampuan untuk tumbuh dengan normal dan terhambatnya perkembangan fisik mereka. Adanya infeksi pada ginjal dapat mempengaruhi kesehatan ginjal anak. Ketika fungsi ginjal anak mulai menurun, tubuhnya akan mengalami kesulitan untuk mengelola racun dan cairan, yang dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh. Penyakit gagal ginjal akut yag mengakibatkan anak-anak harus menjalani prosedur cuci darah (hemodialisis) dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu berasal dari kelainan genetik yang menyebakan rusaknya ginjal sejak lahir, atau sering memimum minuman berwarna dan tidak mengkonsumsi air putih sacara teratur.
Hemodialisme mrupakan prosedur medis yang dilakukan untuk menggantikan sebagian fungsi ginjal yang hilang. Selama melakukan prosedur hemodialisme, darah yang keluar dari tubuh anak akan dialirkan melalui mesin dialisis, yang setelahnya akan meyaring limbah dan cairan yang berlebihan dari darah. Setelah melakukan penyaringan, darah yang sudah bersih dikembalikan ke tubuh pasien. Namun, meskipun hemodialisme ini dapat membantu menyaring darah dengan efektif, hal ini dapat mengganggu psikologis anak. Yang mana hemodialisme ini sering menggunakan jarum suntik besar dapat membuat anak-anak merasa takut karena belum terbiasa dengan jarum atau pun perosedur medis lainnya.
Hemodialisis ini tidak hanya mempengaruhi psikologis anak, akan tetapi juga dapat memberikan dampak pada fisik anak. Selama melakukan prosedur dialisis, anak-anak akan sering mengalami pusing, kelelahan yang parah, serta mual. Kekelahan yaang terjadi akibat dari proses dialisis dapat menghambat aktivitas sehari-hari anak, yang mana seharusnya anak-anak dapat menjalani kehidupan yang lebih baik jika tidak melakukan dialisis. Prosedur cuci darah atau hemodialisis pada anak-anak juga menjadi tantangan khusus bagi pihak medis, yang mana tubuh anak-anak yang lebih kecil membutuhkan penyesuaian yang khusus.
Selain itu, prosedur dialisis ini juga dapat menyebabkan masalah atau gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yang dapat menimbulkan resiko komplikasi pada tubuh anak seperti adanya pembengkakkan pada organ tubuh atau permasalahan pada jantung. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya ketidaknyamanan fisik anak yang akan mengganggu kehidupan mereka sehari-hari, dan akan membuat mereka merasa terisolasi dari teman-teman sebaya mereka. Waktu yang mereka habiskan di rumah sakit juga akan membatasi anak-anak dalam menjalankan rutinitas mereka seperti sekolah, bermain atau pun berinteraksi dengan teman-teman mereka.
Selain menimbulkan dampak fisik, prosedur dialisis yang dijalani anak-anak juga akan menimbulkan dampak pada psikologisnya. Dampak psikologis yang ditimbulkan yaitu adanya rasa cemas, takut, dan juga munculnya stres yang berkelanjutan. Bagi anak-anak prosedur hemodialisis yang melibatkan jarum suntik besar akan membuat anak-anak merasa ketakutan. Ketidaknyamanan dan rasa sakit yang ditimbulkan selama dan setelah menjalani prosedur dialisis dapat memicu perasaan cemas yang mendalam bagi anak-anak. Selain itu, juga masalah ketidakpastian berapa lama mereka harus menjalani prosedur dialisis ini dan apakah prosedur ini berhasil atau tidak, akan dapat menimbulkan rasa cemas bagi mereka.
Masalah yang ditimbulkan dari prosedur dialisis tidak hanya menimbulkan dapak psikologis, fisik, akan tetapi yang menjadi masalah utama bagi anak-anak yang menjalani prosedur dialisis ini yaitu isolasi sosial. Anak-anak yang harus menjalani prosedur dialisis merasa sering terpisah dari teman-teman mereka, yang mana mereka terpaksa meninggalkan waktu untuk bersekolah, bermain, atau kegiatan bersosialisasi lainnya. Isolasi sosial ini dapat menimbulkan rasa kesepian dan rendah diri, serta dapat mengganggu perkembangan sosial anak.
Banyak anak yang akan merasa tidak percaya diri dan menganggap diri mereka berbeda dengan teman sebayanya yang lebih sehat dari dirinya. Yang mana kondisi ini dapat menimbulkan kurangnya rasa percaya diri mereka dan juga dapat menimbulkan masalah emosiaonal seperti depresi atau menimbulkan perasaan cemas yang berlebihan. Dan hal tersebut dapat mengganggu tumbuh kembang mereka untuk menjalani hidup.
Meskipun prosedur cuci darah pada anak-anak memimbulkan banyak tantangan. Terdapat beberapa solusi untuk mengurangi dapak negatif dari prosedur cuci darah, diantaranya yaitu, adanya dukungan psikologis anak seperti dukungan dari keluarga, teman dekat, serta dokter yang menangani prosedur cuci darah pada anak-anak. Anak-anak yang mengalami perasaan cemas dan ketakutan dapat diberikan dukungan berupa konseling atau terapi untuk mengurangi parasaan cemas dan ketakutan yang mereka alami. Dengan melakukan pendekatan yang tepat dapat membuat anak-anak yang menjalani proses dialisis lebih memahami prosedur dialisis dan mengurangi rasa takut dan ceman yang mereka alami.
Tidak hanya dukungan dari keluarga, teman sebaya dan pihak medis, transplantasi ginjal juga merupakan bagian dari solusi untuk mengurangi ketergantungan prosedur dealisis yang dilalui anak-anak. Meskipun transplantasi ginjal juga memiliki tantangan tersendiri seperti resiko penolakan ginjal oleh tubuh dan pendonor yang tepat, dengan melakukan transplantasi ginjal dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menjalani kehidupan mereka yang lebih normal, dan bebas dari prosedur dialisis yang menyakitkan.
Per tanggal 18 Oktober 2022, terdapat sebanyak 189 kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6 bulan-18 tahun telah dilaporkan, yang mana kasus ini paling didominasi oleh anak-anak yang berusia 1-5 tahun. Seiring dengan meningkatnya kasus cuci darah pada anak-anak, pihak Kemenkes (Kementrian Kesehatan) menghimbau orang tua untuk tidak panik, tanang dan tetap waspada. Terutama apabila anak mengalami gejala yang mengarah pada gagal ginjal akut seperti diare, mual, muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk serta jumlah air seni atau air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali. (Rokom, 2022)
Selain itu Kemenkes juga telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02./2/I//3305/2022 tentang Tata Laksana dan Managemen Klinis Gangguan Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai bagian peningkatan kewaspadaan. Yang mana surat ini memat serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan lain dalam melakukan penanganan terhadap pasien gagal ginjal akut sesuai indikasi medis. (Rokom, 2022)
Ikuti Update Berita Terkini Gema Sumatra di: Google News