Gema Sumatra, Opini – Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z, terdiri dari individu yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an. Hal ini memungkinkan adanya perbedaan di setiap wilayah atau negara atas pengklasifikasian rentang usia masing-masing generasi, salah satu yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah perkembangan teknologi di setiap negara atau wilayah yang tidak sama, yang akan berpengaruh terhadap pola hidup, mindset, pengalaman, psikologi, dan lain sebagainya pada setiap generasi.
Mereka merupakan generasi yang tumbuh di era digital dan teknologi yang berkembang sangat pesat. Kehidupan kampus bagi mahasiswa Gen Z membawa tantangan dan tekanan tersendiri yang berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental mereka.
Tekanan akademik adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa Gen Z. Mereka sering merasa terbebani oleh tuntutan akademik yang tinggi, seperti tugas yang menumpuk, ujian yang mendekat, dan harapan untuk meraih prestasi yang gemilang.
Efek umum dari tekanan akademik yang di alami oleh mahasiswa meliputi berberapa perasaan. Contoh perasaan tersebut adalah cemas, stres,depresi, dan juga burnout yang disebabkan oleh perasaan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), sekitar 60% mahasiswa melaporkan merasa stres akibat tekanan akademik. Rasa cemas yang berlebihan ini dapat menyebabkan gangguan tidur, depresi, dan kelelahan mental.
Generasi Z adalah generasi yang sangat terhubung dengan media sosial. Media sosial dapat menjadi sumber tekanan tambahan bagi mahasiswa karena mereka terus-menerus dihadapkan pada citra-citra ideal yang sering kali tidak realistis.
Mahasiswa Gen Z selalu berpikir tentang gengsi dan juga mengikuti trend trend yang selalu berkembang yang mengakibatkan mahasiswa Gen Z ini memiliki sifat ikut ikutan yang sering di sebut dengan istilah FOMO.
Mahasiswa Gen Z sering berperilaku FOMO dengan beralasan hidup di dunia itu hanya satu kali dan keborosan alah sebuah self reward untuk diri pribadi. Perbandingan diri dengan orang lain di media sosial dapat menyebabkan rasa tidak puas dengan diri sendiri, rendahnya harga diri, dan perasaan cemas.
Banyak mahasiswa Gen Z merasa terisolasi dan kurang mendapatkan dukungan sosial yang mereka butuhkan. Kehidupan kampus yang sibuk sering kali membuat mereka kesulitan untuk menjaga hubungan sosial yang sehat. Isolasi sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian, cemas, dan depresi.
Tantangan keuangan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa Gen Z. Biaya pendidikan yang tinggi, biaya hidup, dan hutang pendidikan dapat menyebabkan stres finansial yang signifikan.
Mahasiswa sering kali harus bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang dapat menambah beban dan tekanan.Apalagi mahasiswa Gen Z yang menglami perilaku sandwicth dari orang tuanya.
Mereka dituntut harus selalu memanajemen keuangannya dengan begitu baik.mahasiswa Gen Z yang seperti itu pasti mengalami penurunan kesehatan mental yang sangat derastis karena selain mereka memikirkan tentang keuangan bagi dirinya sendiri,mereka juga harus membiayai kebutuhan orang tua dan saudara saudaranya.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of College Student Development menemukan bahwa mahasiswa yang menghadapi masalah keuangan lebih mungkin mengalami kecemasan, depresi, dan kelelahan emosional. Stres finansial dapat mengganggu fokus akademik dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Meskipun banyak kampus menawarkan layanan kesehatan mental, masih banyak mahasiswa yang kesulitan mengakses layanan tersebut. Mahasiswa Gen Z cenderung hanya ingin langsung merasakan layanan kesehatan mental tanpa mencari informasi terlebih dahulu.
Mereka selalu dan hanya menginginkan sesuatu secara instan tanpa harus berusaha terlebih daluhu. Seperti mencari informasi yang penting terkait dengan kesehatan mentalnya.
Kurangnya informasi, stigma seputar kesehatan mental, dan keterbatasan sumber daya dapat menjadi hambatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Menurut sebuah laporan dari American College Health Association (ACHA), hanya sekitar 40% mahasiswa yang mengalami gangguan mental mencari bantuan dari layanan kesehatan mental di kampus. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan dalam penyediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan mental bagi mahasiswa.
Selain itu faktor dari kesehatan mental mahasiswa Gen Z yang sangat signifikan membuat mahasiswa menjadi menurun kesehatan mentalnya adalah Pandemi COVID-19 yang telah memperburuk kondisi kesehatan mental mahasiswa Gen Z.
Mahasiswa Gen z menjadi terlena akan situsi Pandemi yang menimpa 3 tahun lalu. Pandemi Covid 19 mengubah pemikiran mahasiswa yang selalu berpikiran pendek tidak seperti generasi dahulu yang selalu berpikiran kritis dalam hal apa pun.
Banyak kegiatan mahasiswa Gen z yang harus mereka hadapi dengan sangat mengejutkan seperti penutupan kampus, pergeseran ke pembelajaran daring, dan ketidakpastian masa depan telah menyebabkan peningkatan stres dan kecemasan.
Mahasiswa harus menghadapi tantangan tambahan dalam beradaptasi dengan situasi yang berubah-ubah dan menjaga keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Active Minds menemukan bahwa sekitar 80% mahasiswa melaporkan bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Isolasi sosial, ketidakpastian, dan perubahan dalam rutinitas sehari-hari telah meningkatkan risiko gangguan mental di kalangan mahasiswa.
Kesehatan mental mahasiswa Gen Z di perkuliahan menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Tekanan akademik, pengaruh media sosial, isolasi sosial, tantangan keuangan, kurangnya akses ke layanan kesehatan mental, dan dampak pandemi COVID-19 adalah beberapa faktor utama yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental mereka.
Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan menyediakan dukungan yang memadai sangatlah penting untuk membantu mahasiswa mengatasi permasalahan ini.
Kampus harus memastikan bahwa layanan kesehatan mental mudah diakses oleh semua mahasiswa. Informasi tentang layanan ini harus disebarkan dengan baik, dan stigma seputar kesehatan mental harus dihilangkan.
Mengadakan program pendidikan tentang kesehatan mental dan keterampilan mengelola stres dapat membantu mahasiswa mengatasi tekanan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.Kampus harus menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental dengan menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk berinteraksi dan mendukung satu sama lain.
Memberikan bantuan keuangan dan informasi tentang manajemen keuangan dapat mengurangi stres finansial yang dialami oleh mahasiswa.
Mahasiswa dapat membangun jaringan dukungan sosial dengan bergabung dalam organisasi atau klub di kampus. Interaksi sosial yang positif dapat membantu mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan kesejahteraan mental. Mahasiswa harus belajar mengelola penggunaan media sosial dengan bijak.
Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial dan menghindari perbandingan diri dengan orang lain dapat membantu meningkatkan harga diri. Teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, dan pernapasan dalam dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Mahasiswa yang mengalami gangguan mental harus tidak ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental. Konseling dan terapi dapat membantu mereka mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kesehatan mental mahasiswa Gen Z di perkuliahan dapat ditingkatkan, sehingga mereka dapat mencapai prestasi akademik yang lebih baik dan kehidupan yang lebih sejahtera.