Fatih Architecture Studio Banner
Fatih Architecture Studio Banner
Opini  

Kilas Balik: Mengapa Mayoritas Pihak Salah Mengira Potensi Sebenarnya Dari Ecommerce Asia Tenggara

Pendapatan e-commerce Asia Tenggara mencapai US$184 billion (Rp. 2.944 T) pada tahun 2023

Mengapa Mayoritas Pihak Salah Mengira Potensi Sebenarnya Dari Ecommerce Asia Tenggara (*/Istimewa)
Mengapa Mayoritas Pihak Salah Mengira Potensi Sebenarnya Dari Ecommerce Asia Tenggara (*/Istimewa)

Kilas Balik, OPINI – Artikel lama yang saya tulis tahun 2015. Tulisan yang mengambil beberapa sumber dokumen. Ada beberapa poin yang bisa kita belajar, antara prediksi dan realita, dan seberapa akurat prediksi yang kita buat?

Tulisan ini mewakili optimisme penulis terhadap potensi e-commerce dari pasar Asia Tenggara yang saat itu, 2015, hanya memprediksi nilai pasar 100 Triliun padahal beberapa sumber lainnnya tetap optimis dengan prediksi kapitalisasi pasar Asia Tenggara sebesar 1000 Triliun.

—————————————————————————————————-

Dengan jumlah penduduk sebanyak 600 juta, dan berkembangnya masyarakat golongan menengah disertai terpaparnya teknologi internet yang semakin meningkat, Asia Tenggara seringkali menjadi tujuan investasi ecommerce dunia. Alibaba mulai membeli mayoritas saham Lazada dengan nilai investasi sebesar 12 triliun rupiah beberapa waktu lalu, menjadi nilai yang Jack Ma gelontorkan paling besar sebagai investasi asing sampai saat ini, pada tahun lalu. Namun dengan semua kehebohan tersebut, seberapa besar sebenarnya potensi ecommerce di Asia Tenggara sebenarnya?

Potensi sebesar 1000 Triliun Rupiah?

Hanya sedikit data terkait berkembangnya industry ecommerce di Asia Tenggara. Salah satu alasannya adalah karena kurangnya legalitas dari mayoritas perusahaan kecil dan menengah, termasuk keharusan dalam pembayaran pajak. Ditambah banyaknya jual beli yang dilakukan via Social Media, dan juga forum Jual Beli terkenal seperti Kaskus.co.id.

Berkembangnya media Social Media dan Forum Jual Beli sebagian besar karena ditunjang kebutuhan masyarakat akan produk murah dan praktis tanpa harus ke toko untuk membeli barang. Ditambah calon konsumen dapat berkomunikasi langsung dengan owner atau asisten owner dalam konfirmasi produk dan juga banyaknya testimony positif dari pembeli terdahulu semakin mengurangi ketidakpercayaan masyarakat dengan metode ini.

Baca Juga:  Pengujian kesukaan anak-anak di SD 21 VII Koto Sungai Sariak, Nagari Lareh Nan Panjang Selatan

Disamping itu, beberapa organisasi bereputasi sudah beberapa kali mencoba menimbang seberapa besar potensi yang dimiliki pasar Asia Tenggara. Pertama kali pernah dicoba oleh AT Kearney yang bekerja sama dengan CIMB. Dipublikasikan pada awal 2015 dan dengan judul ‘Lifting the Barriers to E-Commerce in ASEAN’, dalam laporan tersebut tertulis nilai pasar sampai 900 triliun rupiah pada tahun 2013 dan diproyeksikan kedepannya meningkat menjadi 1000 triliun rupiah.

Yang terbaru, Google berkerjasama dengan Temasek, mengeluarkan laporan dengan judul ‘e-conomy SEA: Unlocking the $200 billion digital opportunity in Southeast Asia’ yang menyebutkan nilai pasar ecommerce sebesar 650 triliun rupiah pada tahun 2015 dan diharapkan dapat meningkat sampai 1000 triliun rupiah pada awalan 2025 mendatang. Bagaimanapun perlu diperhatikan bahwa Google dan Temasek tidak memasukkan layanan jual beli dan Social Media kedalam penelitian mereka seperti Olx dan Instagram, karena sulitnya mendapat data akurat untuk menunjang usaha mereka.

Kilas Balik: Berdasarkan data terbaru IndoPremier, pendapatan e-commerce Asia Tenggara mencapai US$184 billion (Rp. 2.944 T) pada tahun 2023. Nilai ini jauh dari perkiraan awal 1.000 Triliun apalagi hanya sebesar 100 Triliun.

Amerika vs Cina vs Indonesia, Siapa Yang Berjaya

1000 triliun rupiah sekilas memang terlihat sangat besar, namun jika kita melihat konteks yang lebih besar, Amerika Serikat sendiri memiliki nilai pasar ecommerce hampir menyentuh 5000 triliun rupiah. Namun sekali lagi, Amerika memiliki pasar yang sudah lama berkembang, dipimpin oleh Amazon dan eBay. Bagaimana dengan Cina? Cina berhasil melewati Amerika Serikat untuk menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia pada tahun 2013, yang diprakarsai oleh Alibaba.

Dan hari ini, ecommerce di Cina memiliki nilai pasar sebesar 8500 triliun rupiah, memberikan kontribusi ritel sebesar 13% di negara tersebut. Dan dengan populasi setengah dari Cina, bukankah Asia Tenggara memiliki potensi yang jauh lebih besar dari sekedar 100 triliun rupiah saja?

Dilansir ecommerce IQ, pada tahun 2025, rata-rata pembelanja dari Cina akan mengeluarkan uang sebesar 25 juta per tahunnya dalam belanja online, hampir tiga kali lipat masyarakat Singapor, namun masih kalah dengan warga Amerika sendiri dimana akan membelanjakan uang sebesar 37 juta per tahunnya dalam platform ecommerce.

Yang menarik adalah Indonesia sendiri seperti diberitakan Google dan Temasek, dimana pasar Indonesia mencapai 600 triliun rupiah. Nilai yang sangat tinggi namun saat dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, nilai per kepala dalam membelanjakan uang mereka relatif kecil belum menyentuh 3 juta rupiah.

Amerika Serikat dan Singapur memiliki GDP per kapita yang jauh lebihh besar dari Indonesia, dimana memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, dan Cina sendiri bukan lagi negara berkembang dimana mereka juga memiliki GDP per kapita menyentuh 160 juta rupiah pada tahun 2025.

Namun menurut berbagai sumber lainnya, dimana Indonesia yang sedang memiliki pertumbuhan ekonomi relatif stabil, oleh beberapa pihak di proyeksikan dapat mendekati GDP per kapita Cina pada tahun 2025 nanti.

Kilas Balik: Prediksi GDP per kapita China yang cukup mendekati, saat ini GDP per kapita Cina sebesar USD 12.614 atau 200 juta rupiah di tahun 2023. Namun prediksi GDP Indonesia jauh dari harapan, yang hanya USD 4.876 atau 78 juta rupiah.

Kesimpulan

Laporan dan proyeksi yang ada sampai saat ini masih belum mengungkapkan potensi sesungguhnya dari Asia Tenggara, terutama Indonesia, namun banyak pihak yang mulai investasi besar-besaran mulai dari Alibaba dalam mengakuisisi Lazada sebanyak 12 triliun rupiah, nilai Tokopedia yang meningkat sampai 3 triliun rupiah dan MatahariMall yang beberapa tahun lalu baru memulai bisnis online mereka dengan investasi lebih dari 1 triliun rupiah. Selayaknya Cina sepuluh tahun yang lalu, investasi cepat yang dilakukan tiga pioneer tersebut sepertinya akan menikmati potongan kue yang cukup dominan dari potensi 1000 triliun rupiah pasar ecommerce di Asia Tenggara.

Dari data dan prediksi yang penulis kumpulkan di tahun 2015 lalu, ada banyak yang dapat kita pelajari. Mulai dari pesimisme media lokal dalam melihat potensi pasar dalam negeri, hingga tertinggal jauhnya GDP Indonesia dari prediksi awalnya bisa mendekati GDP per kapita Cina. Semoga ke depannya penulis dapat lebih giat dalam membuat tulisan-tulisan yang seperti ini, dan bisa dibaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Aamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *