Politik, Gema Sumatra – Prabowo Subianto usulkan evaluasi Pilkada langsung, yang di nilai menimbulkan biaya politik tinggi dan konflik.
Ia mengusulkan pemilihan melalui DPRD.
Dalam sejumlah kesempatan, Prabowo menyatakan perlunya evaluasi terhadap sistem pilkada langsung yang telah berjalan sejak 2005.
Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti, menyebutkan bahwa evaluasi sistem pilkada langsung adalah langkah yang perlu di lakukan.
Ia menilai, pilkada langsung sering kali menjadi ajang pemborosan anggaran dan membuka celah korupsi politik.
“La Nyalla menyatakan sudah saatnya mengevaluasi efektivitas pilkada langsung demi kebaikan bangsa.”
Politikus Gerindra, Ahmad Riza Patria, menyebut wacana ini sudah lama di bahas di kalangan politisi.
Menurutnya, pemilihan oleh DPRD bisa mengurangi biaya politik dan memperkuat perwakilan daerah.
Dari sudut pandang anggaran, pilkada langsung memang di anggap membebani APBD secara signifikan.
Di beberapa daerah terpencil, biaya pilkada sering kali melampaui kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut.
Karena itu, pendukung sistem pemilihan oleh DPRD melihat ini sebagai alternatif yang lebih hemat dan efisien.
Wacana ini di kritik aktivis dan akademisi sebagai kemunduran demokrasi.
Pemilihan langsung di anggap lebih transparan dan memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menegaskan bahwa pilkada langsung mencerminkan kedaulatan rakyat.
“Kita harus memperbaiki sistem yang ada, bukan menghapusnya.
Masalah korupsi dan politik uang bisa di atasi dengan pengawasan dan regulasi yang lebih baik,” tegasnya.
Beberapa pakar politik juga menyebut bahwa pengembalian sistem pemilihan kepada DPRD berpotensi meningkatkan oligarki politik.
Sistem ini dinilai dapat meningkatkan transaksi politik antara calon kepala daerah dan DPRD, mengorbankan aspirasi rakyat.
Perubahan sistem pilkada akan membawa konsekuensi besar bagi demokrasi Indonesia.
Di satu sisi, penghematan anggaran dan efisiensi proses politik menjadi nilai positif.
Namun, di sisi lain, kekhawatiran soal representasi rakyat dan potensi oligarki semakin mengemuka.
Pilkada langsung telah menjadi salah satu simbol penting demokrasi di Indonesia.
Sistem ini memberi rakyat hak langsung memilih pemimpin daerah.
Wacana penghapusan sistem ini dikhawatirkan membuat masyarakat terasing dari proses politik.
Pilkada langsung di mulai pada 2005, menggantikan pemilihan oleh DPRD era Orde Baru.
Sistem ini di nilai memperkuat kedaulatan rakyat dan akuntabilitas.
Namun, perjalanan pilkada langsung juga tidak bebas dari kritik.
Biaya politik yang mahal, maraknya politik uang, serta potensi konflik sosial menjadi tantangan yang terus di hadapi.
Berbagai evaluasi dan usulan perbaikan sistem telah muncul, termasuk wacana untuk mengembalikannya ke DPRD.
Dengan berbagai argumen pro dan kontra, wacana ini di prediksi akan menjadi perdebatan panjang di tingkat nasional.
Pemerintah dan DPR di harapkan dapat mengambil keputusan yang bijak dengan mempertimbangkan suara masyarakat luas.
Perbaikan Pilkada langsung mencakup pengawasan, penegakan hukum politik uang, dan pendidikan politik.
Pada akhirnya, pilihan sistem pilkada harus mengutamakan kepentingan rakyat dan memperkuat demokrasi.
Yang terpenting, pemilihan harus mencerminkan aspirasi rakyat dan adil.
Ikuti Update Berita Terkini Gema Sumatra di: Google News