Fatih Architecture Studio Banner
Fatih Architecture Studio Banner
Hukum  

UU ITE: Antara Perlindungan Data Pribadi dan Pembungkaman Suara Kritis

Banyak kasus menunjukkan bagaimana pasal-pasal ini digunakan untuk menjerat warga yang menyuarakan kritik

UU ITE
UU ITE

OPINI – Ketika ruang digital menjadi semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seharusnya menjamin keamanan, kenyamanan, dan hak setiap warga negara di dunia maya. Namun, alih-alih menjadi pelindung, UU ini justru kerap menjelma menjadi alat represi. Ini adalah ironi dalam hukum digital Indonesia—antara harapan perlindungan data pribadi dan kenyataan pembungkaman suara kritis.

UU ITE memang hadir dengan niat baik. Sejak disahkan pada 2008, undang-undang ini dirancang untuk merespons perkembangan teknologi informasi, melindungi kepentingan publik, dan mencegah penyalahgunaan media digital. Revisi pada 2016 dan pembaruan penjelasan pasal di tahun 2021 menunjukkan bahwa negara mencoba menjawab kegelisahan masyarakat. Namun, masalah mendasarnya belum tuntas: adanya pasal-pasal multitafsir yang rawan disalahgunakan.

Ketika Perlindungan Hanya Sekadar Kata

Salah satu aspek penting dari UU ITE adalah janjinya untuk melindungi data pribadi. Namun, sampai UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan pada 2022, UU ITE berdiri tanpa kerangka yang jelas soal perlindungan data. Pasal 26 UU ITE hanya menyebutkan bahwa data pribadi tidak boleh digunakan tanpa persetujuan. Namun, ia tidak menjelaskan secara konkret apa yang dimaksud dengan “data pribadi,” bagaimana mekanisme perlindungannya, atau sanksi atas pelanggarannya.

Akibatnya, ketika berbagai kebocoran data terjadi—dari BPJS, eHAC, hingga MyPertamina—masyarakat seperti berdiri di ruang hampa. Tak ada mekanisme aduan yang efektif, tak ada pertanggungjawaban yang transparan. Negara terlihat lamban, bahkan cenderung abai.

Padahal, dalam demokrasi digital, perlindungan data pribadi adalah hak asasi. Ia bukan sekadar soal teknis pengamanan sistem, melainkan soal bagaimana negara melindungi warganya dari eksploitasi dan pengawasan berlebihan.

Pasal Karet dan Bayang-bayang Ketakutan

Namun perlindungan adalah satu sisi dari wajah UU ITE. Di sisi lain, terdapat pasal-pasal yang lebih dikenal masyarakat: pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan ancaman kekerasan. Pasal-pasal ini, terutama Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29, telah menjadi momok bagi kebebasan berekspresi.

Banyak kasus menunjukkan bagaimana pasal-pasal ini digunakan untuk menjerat warga yang menyuarakan kritik. Baiq Nuril, guru di NTB, dikriminalisasi karena menyebarkan bukti pelecehan. Jerinx SID, musisi yang vokal terhadap kebijakan pandemi, dihukum karena dianggap menghina institusi. Aktivis lingkungan, jurnalis investigasi, hingga warga biasa yang protes di media sosial—semua bisa menjadi korban.

Data dari SAFEnet mencatat lebih dari 300 kasus kriminalisasi digital sejak 2016. Kebanyakan bukan pelaku kejahatan, melainkan mereka yang berani bersuara.

UU ITE seolah memberikan ruang bagi negara atau individu berkuasa untuk “mengadili” kritik. Pasal karet ini membuat siapa pun bisa terancam. Bahkan kritik yang sah bisa dibaca sebagai ujaran kebencian, dan satire bisa dianggap pencemaran nama baik.

Demokrasi Digital dalam Ancaman

Fenomena ini menunjukkan bahwa kita belum memiliki regulasi digital yang berpihak pada warga. Alih-alih memperkuat demokrasi, UU ITE kerap menjadi ancaman bagi ruang publik digital.

Padahal, UUD 1945 menjamin hak atas kebebasan berpendapat (Pasal 28E). Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dalam standar internasional, pembatasan kebebasan berekspresi haruslah sah, proporsional, dan diperlukan. Sayangnya, UU ITE tidak memenuhi ketiga kriteria itu. Ia terlalu luas, terlalu lentur, dan terlalu mudah digunakan sebagai senjata.

Revisi tahun 2021 yang menambahkan penjelasan pasal belum menyelesaikan masalah utama. Mediasi sebagai syarat dalam perkara pencemaran nama baik hanyalah tambal sulam. Tanpa revisi substansial yang mencabut pasal-pasal multitafsir, UU ITE tetap berbahaya.

Harapan dari UU PDP, Tantangan ke Depan

Disahkannya UU PDP menjadi harapan baru. Undang-undang ini akhirnya memberikan definisi eksplisit tentang data pribadi, mengatur hak-hak subjek data, serta memberi sanksi kepada pelanggar. Namun pertanyaannya: bagaimana koordinasinya dengan UU ITE?

Tanpa sinkronisasi, potensi tumpang tindih tetap besar. UU PDP bisa menjamin hak privasi, namun UU ITE bisa tetap menghukum ekspresi yang membongkar pelanggaran. Maka, kerja legislasi tidak berhenti di sini. Kita butuh revisi besar-besaran terhadap UU ITE, bukan sekadar perbaikan redaksional.

Menuju Regulasi yang Demokratis

Ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan:

Pertama, hapus atau revisi pasal-pasal karet yang multitafsir. Kritik terhadap pemerintah, opini publik, dan ekspresi budaya tidak boleh dikriminalisasi. Negara harus membedakan antara ujaran kebencian yang mengarah pada kekerasan, dan ekspresi sah dalam demokrasi.

Kedua, perkuat lembaga pengawas independen untuk perlindungan data pribadi. Tanpa pengawasan yang kuat dan bebas intervensi, UU PDP bisa macet di tataran implementasi.

Ketiga, bangun literasi digital yang adil dan berimbang. Masyarakat perlu dibekali hak-hak digital mereka, etika berkomunikasi, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih berkeadilan—misalnya restorative justice, bukan pidana penjara.

Kita sedang hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia digital. Demokrasi tidak boleh berhenti di batas fisik. Ia harus hadir di ruang daring, menyapa warga, dan melindungi hak-hak mereka. Tanpa itu, demokrasi kita hanya tinggal nama, dan suara-suara kritis hanya akan menjadi bisikan yang dibungkam oleh undang-undang yang semestinya melindungi mereka.

Tulisan ini adalah kiriman dari Angel Audika Hutauruk Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Medan
Jalan Flamboyan Raya, Tanjung Sari 

Penulis: Angel Audika HutaurukEditor: Azlan Shah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *