Opini, Gema Sumatra – Isu mengenai Upah Minimum Regional (UMR) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kembali mencuat sebagai topik hangat dalam diskusi ketenagakerjaan di Indonesia. Meskipun gaji UMR ditetapkan untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja, kenyataanya banyak pekerja yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kesenjangan ini semakin mendalam, terutama akibat meningkatnya inflasi dan melonjaknya biaya hidup. Bagi masyarakat, khususnya pekerja dengan upah minimum, persoalan ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi menyangkut kualitas hidup sehari-hari. Ketimpangan yang terjadi menimbulkan pertanyaan mendasar, sejauh mana sistem pengupahan yang diterapkan saat ini benar-benar mampu melindungi dan menyejahterakan buruh, atauh justru masih menyisakan berbagai permasalahan yang membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang layak? Dalam kolom ini, penulis berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan gaji UMR secara berkala agar dapat lebih mencerminkan realitas kebutuhan hidup masyarakat. Hanya dengan langkah konkret, kita dapat mengatasi kesenjangan yang tak kunjung usai ini.
Kesenjangan antara Upah Minimum Regional (UMR) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Indonesia nerupakan permasalahan yang terus berlanjut. Meskipun pemerintah telah menetapkan UMR sebagai upah minimum yang harus dibayarkan kepada pekerja, kenyataanya masih banyak pekerja yang merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Realitas menunjukkan bahwa besaran UMR seringkali belum mampu memenuhi standar KHL yang diperlukan untuk kehidupan yang layak. Fenomena ini terjadi di berbagai daerha, termasuk Kota Yogyakarta, yang memiliki biaya hidup yang terus meningkat namun UMR masih relatif rendah dibandingkan kebutuhan riil masyarakat.