Fatih Architecture Studio Banner
Fatih Architecture Studio Banner

Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional Diperingati 5 November

Momentum edukasi konservasi; sorot spesies kunci Sumatra seperti harimau, gajah, orangutan, dan puspa langka Rafflesia.

Rafflesia arnoldii (Photo by T Ken: https://www.pexels.com/photo/close-up-of-rafflesia-flower-15695205/)
Rafflesia arnoldii (Photo by T Ken: https://www.pexels.com/photo/close-up-of-rafflesia-flower-15695205/)

[SUMATRA], Rabu, 5 November 2025, 12.30 WIB — Indonesia memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) setiap 5 November. Peringatan ini bertujuan meningkatkan kepedulian publik terhadap perlindungan dan pelestarian flora–fauna Indonesia. Bagi warga Sumatra, momen ini relevan dengan upaya menjaga Rafflesia arnoldii (padma raksasa) di Bengkulu serta spesies kunci seperti harimau, gajah, orangutan, dan badak sumatra yang habitatnya membentang dari Aceh hingga Lampung.

HCPSN berlandaskan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Dalam keputusan itu, pemerintah menetapkan tiga satwa simbolik: Komodo (satwa nasional), Ikan Siluk Merah/Arwana (satwa pesona), dan Elang Jawa (satwa langka); serta tiga puspa simbolik: Melati (puspa bangsa), Anggrek Bulan (puspa pesona), dan Padma Raksasa/Rafflesia (puspa langka).

Penetapan ini dimaksudkan menumbuhkan kecintaan masyarakat pada kekayaan hayati Nusantara sekaligus mendorong aksi nyata pelestarian.

Baca Juga:  Operasi Karhutla 2025 Ditutup, Riau–Sumsel Perpanjang Status Siaga hingga November

“Setiap 5 November diperingati sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional untuk meningkatkan kepedulian dan pelestarian puspa–satwa,” bunyi keterangan KLHK dalam materi edukasi HCPSN. Peringatan umumnya diisi kampanye sekolah, lomba foto konservasi, penanaman pohon, hingga kunjungan edukatif ke taman nasional atau pusat konservasi.

Di pulau ini, Rafflesia arnoldii—puspa langka nasional—tumbuh alami di hutan Bengkulu dan Sumatra bagian selatan. Pada sisi fauna, Harimau Sumatra berstatus terancam menurut daftar IUCN dan menjadi indikator kesehatan bentang alam hutan.

Gajah Sumatra dan Badak Sumatra—keduanya berstatus Critically Endangered (kritis)—masih membutuhkan perlindungan koridor jelajah, mitigasi konflik satwa–manusia, serta pemberantasan jerat dan perdagangan ilegal. Data resmi KLHK dan pemerintah daerah di 2025 juga menyoroti penguatan patroli, kamera jebak, serta restorasi habitat di sejumlah lanskap kunci, dari Leuser, Kerinci Seblat, Bengkulu–Seblat, hingga Way Kambas.

Baca Juga:  Konflik Harimau Sumatra Kembali Terjadi di Pelalawan, Riau

Dampak & ajakan untuk warga/UMKM Sumatra.

  • Sekolah/komunitas: gelar kelas singkat konservasi, ajak siswa mengidentifikasi tumbuhan lokal di lingkungan sekitar; buat bank bibit di halaman sekolah.
  • UMKM wisata/ekowisata: sisipkan pesan “leave no trace” dalam paket tur; sediakan masker & kantong sampah saat trekking.
  • Petani/kelompok tani hutan: manfaatkan pola tanam agroforestri (buah lokal, tanaman obat) untuk menambah pendapatan sekaligus menjaga tutupan pohon.
  • Warga pesisir & desa penyangga: laporkan satwa terjerat atau perdagangan bagian satwa ke BKSDA/Polhut; pasang lonceng/penjepret pada pagar kebun untuk mengusir satwa tanpa melukai.
  • Konten kreator/komunitas foto: angkat flora–fauna lokal Sumatra; cantumkan nama ilmiah dan status perlindungan agar edukatif.
Baca Juga:  Pemerintah Segel 10 Perusahaan Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan

Di sisi regulasi, UU No. 5/1990 dan turunannya melindungi spesies langka; Keppres No. 4/1993 memandatkan kampanye cinta puspa–satwa di semua lapisan. KLHK bersama BKSDA, taman nasional, dan mitra masyarakat menggerakkan patroli kolaboratif, penertiban jerat, serta penyelamatan satwa. Di beberapa lokasi Sumatra, kamera jebak memperlihatkan keberadaan harimau; di Way Kambas, kelahiran badak/gajah beberapa tahun terakhir memberi harapan, meski ancaman fragmentasi habitat dan konflik masih nyata.

Pemerintah daerah/TPAS di Sumatra didorong membuat agenda HCPSN tahunan (bank bibit, adopsi pohon, lomba riset biodiversitas pelajar), memperbanyak sosialisasi hukum satwa dilindungi, dan membuka jalur pengaduan cepat konflik satwa–manusia. Warga disarankan membeli produk ramah hutan dan menghindari suvenir/obat yang berbahan bagian satwa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *