Bedah Editorial, BISNIS – Definisi konsep peri urban masih belum jelas dan terbuka dalam penafsirannya. Tahap awal pengenalan WPU hanya didasarkan pada istilah kekotaan dan kedesaan dari struktur morfologi yang diindikasikan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris versus penggunaan lahan agraris.
Piorr (2011) mengungkapkan peri urban masuk dalam dua kategori yaitu urban fringe dan urban periphery. Urban periphery mengelilingi area kota terbangun dengan ciri kepadatan rendah namun memiliki fungsi urban, terdiri atas beberapa permukiman lebih kecil, kawasan industri dan fungsi kota lainnya dalam konteks fungsi pertanian.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kawasan peri urban memiliki masing-masing jumlah penduduk kurang dari 20.000 dengan rata-rata kepadatan paling kurang 40 orang per hektar.

Berdasarkan penelitian di Yogyakarta, diperoleh 4 zona di dalam wilayah peri-urban yaitu (1) Zona bingkai kota; (2) Zona bingkai kota-desa; (3) Zona bingkai desa-kota; dan (4) Zona bingkai desa (Yunus, 2008).
Pryor (dalam Yunus, 2008) mengemukakan bahwa untuk mengetahui karakteristik wilayah peri urban pada suatu daerah dapat dilihat dari aspek fisik.
Untuk membedakan karakteristik kekotaan dan karakteristik kedesaan dari aspek fisik, indikator-indikatornya adalah karakteristik pemanfaatan lahan, kepadatan bangunan, luasan permukiman, dan karakteristik sirkulasi.
Kebijakan Pengembangan Kawasan Peri Urban
Secara garis besar beberapa prioritas pengembangan di WPU adalah (1) pengembangan kompleks perdagangan, (2) pengembangan kompleks pendidikan, (3) pengembangan industri, (4) pengembangan pertanian, (5) pengembangan permukiman dan (6) pengembangan jalur hijau.
Lokasi penentuan pengembangan kegiatan perdagangan baru sangat perlu dipertimbangkan dengan matang agar dapat berkembang dengan baik. Jarak dengan pasar tradisional yang sudah ada dan aksesibilitas ke dan dari pasar tersebut sangat perlu dipertimbangkan.
Keberadaan industri jelas akan menjadi daya tarik yang kuat bagi pekerja dari tempat lain sehingga di lingkungan industri pada umumnya akan menjamur pula perkembangan kegiatan ekonomi lain.
Densifikasi permukiman yang telah ada tidak dapat dihindarkan mengingat makin banyaknya pekerja-pekerja yang membutuhkan akomodasi.
Investasi dalam transportasi bisa menjadi jalan pintas untuk menurunkan densifikasi permukiman di wilayah kota ke wilayah peri urban.
Jika masalah ini dapat ditemukan solusinya, maka kita tidak perlu takut dengan harga tanah di pusat kota yang meningkat tajam, karena tersedianya lahan yang jauh lebih murah di kawasan di peri urban. Namun tentunya perlu transportasi dan fasilitas yang memadai.
Pada akhirnya akan memiliki akses ke perumahan yang lebih terjangkau harganya, jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini yang menyulitkan keluarga baru untuk memiliki rumah tapak sendiri.
Selain itu, keberadaan industri juga akan menghasilkan limbah yang memiliki potensi mencemari tanah, air dan udara maka lokasi kompleks industri harus ditentukan sedemikian rupa sehingga limbahnya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan termasuk manusia, tumbuhan dan hewan.
Dengan mengetahui kebutuhan akan jalur hijau dan fungsi jalur hijau yang diharapkan, maka pengembangan jalur hijau dapat diketahui mengenai karakteristiknya terkait dengan (1) lokasi, (2) bentuk, (3) luasan, (4) komposisi, dan (5) sebaran spasialnya.
Diambil dari Tesis PENGARUH KEBERADAAN PERUMAHAN RELOKASI TERHADAP KARAKTERISTIK KAWASAN GAMPONG NEUHEUN, KABUPATEN ACEH BESAR oleh Azlan Shah.