Opini, Gema Sumatra – Di balik hiruk-pikuk kota dan desa, sering kali kita menemukan pemandangan sosial yang memilukan: anak-anak usia sekolah berdiri di perempatan jalan, tangan kecil mereka memohon receh dari pengendara. Bagi sebagian dari kita, pemandangan ini sudah menjadi “biasa.” Namun, di balik wajah-wajah polos mereka, ada cerita duka yang jarang tersentuh cerita tentang mimpi yang terenggut oleh mereka yang seharusnya melindungi, yaitu orang tua.
Permasalahan ini bukan sekadar soal kemiskinan, tetapi juga salah didik yang berakar dari kurangnya kesadaran, tekanan sosial, dan ketimpangan struktural. Ketika orang tua memutuskan bahwa pendidikan bukanlah prioritas, mereka secara tidak langsung memutuskan masa depan anak mereka.
Sudut Pandang Baru: Ketimpangan Sosial yang Memperparah
Ketika kita membahas isu anak-anak yang dipaksa berhenti sekolah, kita sering kali fokus pada orang tua sebagai penyebab utama. Namun, perlu diingat bahwa ada faktor struktural yang jauh lebih besar bermain di belakang layar. Ketimpangan sosial dan ekonomi menciptakan kondisi yang mendorong keluarga untuk membuat pilihan sulit.
1. Lingkaran Kemiskinan yang Tak Berujung
Bagi banyak keluarga miskin, pendidikan tampak seperti barang mewah yang tidak terjangkau. Meskipun ada program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), masalah lain seperti akses transportasi, kurangnya fasilitas sekolah di daerah terpencil, dan kebutuhan hidup yang mendesak membuat pendidikan menjadi prioritas yang terpinggirkan. Dalam kasus seperti ini, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada orang tua. Sistem yang gagal menyediakan solusi holistik turut berkontribusi pada terputusnya pendidikan anak-anak ini.
2. Ketimpangan Infrastruktur Pendidikan
Anak-anak di pedesaan menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan anak-anak di kota. Sekolah yang jauh, guru yang tidak memadai, dan fasilitas belajar yang buruk menciptakan kesenjangan pendidikan yang signifikan. Hal ini membuat orang tua merasa bahwa menyekolahkan anak hanya membuang waktu dan uang, karena peluang mereka untuk berhasil terlihat sangat kecil.
Sudut Pandang Psikologis: Beban Mental pada Orang Tua
Selain anak, orang tua juga sering kali menjadi korban dari tekanan sosial dan ekonomi. Mereka menghadapi dilema antara memberikan pendidikan untuk anak mereka atau memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Beban mental ini sering kali membuat mereka merasa putus asa dan akhirnya memilih jalan yang lebih mudah, meskipun itu berarti mengorbankan masa depan anak mereka.
1. Rasa Bersalah yang Terpendam
Sebagian orang tua mungkin merasa bersalah atas keputusan mereka, tetapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Dalam masyarakat dengan tingkat literasi rendah, mereka sering kali tidak menyadari dampak jangka panjang dari tindakan mereka. Kampanye kesadaran yang ditargetkan kepada kelompok ini dapat membantu mengubah pola pikir mereka dan membuka peluang baru bagi anak-anak mereka.
2. Pengaruh Budaya dan Stigma
Budaya juga memainkan peran penting dalam membentuk sikap orang tua terhadap pendidikan. Di beberapa komunitas, anak perempuan masih dianggap lebih baik tinggal di rumah daripada belajar, sementara anak laki-laki dipaksa bekerja untuk mendukung keluarga. Pandangan sempit ini tidak hanya membatasi potensi anak, tetapi juga memperkuat lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan gender.
3. Menyalahkan Anak sebagai Bentuk Eksploitasi Baru
Dalam beberapa kasus, anak-anak yang dipaksa mengemis sering kali menjadi korban eksploitasi. Orang tua atau pihak ketiga memanfaatkan mereka sebagai alat untuk menghasilkan uang. Kondisi ini memunculkan dilema moral yang mendalam: bagaimana kita melindungi hak anak-anak ini tanpa memisahkan mereka dari keluarga mereka?
Mengatasi Tantangan dengan Pendekatan Inklusif
1. Kolaborasi antara Pemerintah dan Komunitas
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi masalah ini. Diperlukan kolaborasi dengan LSM, komunitas lokal, dan perusahaan untuk menyediakan solusi yang komprehensif. Misalnya, program pelatihan keterampilan untuk orang tua dapat membantu mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil, sementara program beasiswa dan transportasi gratis dapat memastikan anak-anak tetap bersekolah.
2. Pemberdayaan Perempuan
Memberdayakan ibu melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan keluarga. Ibu yang berpendidikan cenderung lebih sadar akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka dan lebih mampu membela hak mereka.
3. Menciptakan Narasi Baru
Dalam masyarakat yang sering kali menyalahkan korban, penting untuk menciptakan narasi baru yang memandang anak-anak ini sebagai aset bangsa, bukan beban. Media, tokoh masyarakat, dan pendidik harus bekerja sama untuk mempromosikan nilai-nilai yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama.
4. Mengubah Persepsi tentang Pendidikan
Narasi yang menekankan bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan harus terus digalakkan. Kisah-kisah inspiratif tentang anak-anak dari latar belakang miskin yang berhasil mengubah hidup mereka melalui pendidikan dapat menjadi motivasi bagi keluarga lain.
Artikel ini merupakan tulisan kiriman dari Annisa Saidannur, Mahasiswa Sejarah Universitas Andalas.