Gema Sumatra, OPINI – Sudah lama isu bonus demografi ramai diperbincangkan publik. Hal ini kembali diulang oleh Gibran Rakabuming Raka selaku Wakil Presiden Indonesia 2024-2029 dalam video singkat di kanal YouTube-nya baru-baru ini.
Bonus demografi Indonesia untuk Indonesia Emas 2045 memiliki sisi positif, dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memberikan produksi lebih banyak, sehingga dapat ekspor baik barang maupun jasa ke luar negeri. Hal ini akan meningkatkan daya beli kita dengan negara lain dan meningkatkan devisa.
Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk bisa mencapai Indonesia Emas 2045 melalui bonus demografi ini. Untuk mendukung sumber daya manusia yang produktif, pendidikan Indonesia perlu mempersiapkan SDM yang terampil dan mampu memberikan hasil.
Produktivitas manusia bergantung pada skill siap pakai, etos kerja keras, sampai infrastruktur mikro dan makro. Dalam hal skill atau keterampilan kerja yang siap pakai, pemberdayaan SMK sangat penting. Sekarang kita lihat lulusan S1 yang membludak di Indonesia yang tidak siap kerja, berharap untuk dapat langsung bekerja setelah lulus karena ijazah S1 yang sudah menjamin kesejahteraan.
Itu cerita 20 tahun yang lalu. Dimana ijazah S1 masih terbatas, malah zaman sekarang ijazah S2 dan S3 sudah banyak, yang juga mengisi daftar pengangguran Indonesia.
Seharusnya lulusan SMK yang siap kerja untuk menjadi teknisi, drafter, surveyor dan lain-lain jumlahnya paling banyak. Pekerja terampil yang siap di akar rumput. Baru diikuti oleh lulusan S1 di level manajemen. Sedangkan S2 dan S3 mampu melahirkan terobosan, penelitian, paten dalam bidangnya masing-masing untuk meningkatkan industri yang ada.
Sekarang lulusan SMA banyak, namun tidak memiliki skill terampil hanya menjadi buruh dengan produktivitas rendah. Sedangkan lulusan S1 membludak, apa semuanya mau masuk ke manajemen? Daya tampung lulusan S1 dapat ditingkatkan, namun perlu dibuka lapangan kerja yang besar, dan ini butuh investasi dan pekerja terampil yang cukup.
Terlebih, tingginya tingkat pendidikan tidak dibarengi dengan kesiapan kerja. Lulusan S1 ogah bertani misalnya, dibarengi dengan skill yang terbatas, membuat inisiatif hilang saat ingin berusaha produktif.
Saat ini kita tidak melihat grand plan yang jelas dari pendidikan masyarakat, SMK dihindari karena tidak menjamin masa depan, sedangkan S1 terus dianggap kunci sukses masa depan, hingga dosen/peneliti S2 dan S3 yang masih perlu ditingkatkan inisiatif risetnya.
Jika kita membandingkan dengan China, mulai dari tim riset Huawei saja, hingga bidang arsitektur, 6G, energi terbarukan, Alibaba, Tiktok dan seterusnya yang menjadi terobosan-terobosan dunia. Apa yang salah di Indonesia?
Tentunya jika tidak segera dibereskan, tingkat pengangguran Indonesia akan semakin bertambah dan bukannya menghasilkan devisa, namun bisa jadi masalah ke depannya. Perut kosong, emosi meledak hingga kriminalitas meningkat. Wallahualam.
Respon (1)