Bedah Editorial, POLITIK – Perang orasi dan kebijakan antara Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sudah berlangsung lama bahkan sejak terbit Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Baru-baru ini, tepatnya hari Minggu, 18 Mei 2025, diadakan jumpa pers terkait UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang berpotensi menurunkan mutu pendidikan dan dokter spesialis.
Dekan FKUI, Ari Fahrial Syam juga menyebutkan bahwa mereka menyambut UU ini, namun dalam perjalanannya terjadi penyimpangan dari komitmen awal.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir adalah soal mutasi terhadap sejumlah dokter, termasuk di antara Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso yang juta berstatus pengajar di FKUI.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan anggota DPR, Piprim menilai mutasi dirinya sebagai hukuman sekaligus tekanan terhadap sikap organisasinya yang menolak pengambilalihan kolegium oleh Kemenkes.
Secara terbuka, Ari mengungkapkan bahwa saat ini ada satu kolegium yang anggotanya dipilih langsung oleh Kemenkes. Tidak sama sekali melalui mekanisme voting.
William Wickenden menyatakan bahwa suatu bidang keahlian dapat dikatakan sebagai profesi bila memenuhi syarat-syarat : 1. Body of knowledge (science) and art (skill), 2. Proses pendidikan, 3. Kode etik, 4. Pengakuan status dan, 5. Wadah atau organisasi.
Sudah sepatutnya agar organisasi profesi berdiri secara independen. Dan jika ada hal yang menyimpang atau monopoli yang menyebabkan kisruh dalam profesi kedokteran, musyawarah perlu dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
Jika kita melihat kembali organisasi perlu izin dari pemerintah, karena itu, pemerintah bisa memiliki prosentase campur tangan dalam organisasi tersebut.
Namun tentu saja, Menteri Kesehatan tidak bisa membuat kebijakan sendiri yang bersebrangan dengan benang merah rencana organisasi profesi seperti yang disebutkan membuat pelatihan teknis menggantikan pendidikan terpadu di Rumah Sakit.
Karena yang mengerti tentang pendidikan kedokteran pastinya adalah para dokter yang ternaung dalam organisasi profesi kedokteran. Bukan pihak lain manapun.
Dalam satu sisi organisasi profesi yang terlalu kuat akan menimbulkan monopoli dan memberatkan masyarakat. Di sisi yang lain, organisasi profesi perlu menjaga body of knowledge, proses pendidikan yang bermutu hingga kode etik.
Bisa jadi tindakan Kemenkes yang ikut campur dapat menjadi salah satu solusi untuk menurunkan dominasi IDI, namun alangkah baiknya jika seluruh stakeholder melihat profesi dan tugas yang diemban sebagai sebuah ibadah dan tanggung jawab. Bukan semena-mena cara untuk kepentingan salah satu pihak tanpa memikirkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Wallahualam.